Senin, 14 Maret 2011

Islamisasi Ilmu

ISLAMISASI ILMU
Oleh: Ummamah Amief


Gagasan Islamisasi ilmu menjadi pembicaraan yang hangat sehingga kita kemudian bertanya lagi mengenai gagasan ini. Islamisasi (Islamization) secara peristilahan mungkin hampir mirip dengan kata sakralisasi (sacralization), yaitu upaya untuk menjadikan hal-hal yang profan masuk pada wilayah sakral, dari yang relatif menjadi mutlak dan absolut. Tetapi, apakah memang seperti itu, padahal ilmu itu masuk pada wilayah profan seperti halnya politik dan berbagai hal duniawi lainnya. Apakah agama layak memasukkan hal-hal yang profan ke dalam dirinya yang sakral. Pertanyaan ini yang perlu diajukan kemudian, apakah selama ini ilmu-ilmu (sains) modern atau kontemporer sudah diperlukan untuk diIslamisasikan? Ataukah hanya karena suatu bentuk apologetika lalu kita ingin mengkalaim bahwa ilmu itu adalah milik Islam?
Dalam dunia Islam, pemikiran yang menggunakan paradigma positivisme dan empirisme tidak mendapat tempat secara proporsional karena alur pemikiran selama ini masih berpusat pada pemikiran teologikal klasik. Pemikiran positivis-empiris sering dianggap berkonotasi negatif bagi kaum agamawan (Abdullah, 1995: 255). Kaum cendikiawan muslim yang berfikiran dengan pendekatan positivis selalu dicurigai sebagai agen orientalis atau bagia dari Barat yang berupaya melakukann sekulerisasi atau westrenisasi. Bagaimana mungkin kaum cendikiawan Muslim mampu membangkitkan gairah intelektual jika tidak mau menggunakan pendekatan yang positivis-empiris dan juga rasional. Walaupun kita berhak mengkritisi dua pendekatan tersebut. Bukankah dalam epistemologi Islam ada trilogi sumber penegtahuan, yaitu bayani, irfani dan burhani yang juga memasukkan pendekatan rasional dan empiris.
Apapun yang selama ini selalu kita banggakan sebagai bentuk “romantisme sejarah”, gerak laju perubahan dan perkembangan pemikiran dalam Islam belum bisa mencapai proses renaisans dan aufklarung. Salah satu penyebabnya, umat Islam belum membudayakan tradisi “kritik epistemologis” (epistemological critique) dalam menalar keilmuan secara filosofis-rasional. Kaum teolog dan fuqaha Islam klasik yang masih mendominasi pemikiran Islam dengan memenangkan atas pemikiran yang filosofis menyebabkan hilangnya gairah intelektual kritis dan konstruktif. Hal ini menyebabkan umat Islam tidak mampu membedakan mana aspek yang dianggap normatif dan mana saja yang dianggap sebagai pemikiran manusia biasa yang sebenarnya masih bersifat relatif dan perlu pengujian histories

Tradisi Kritik Epistemologi
Tradisi kritik epistemologi adalah model yang pada gilirannya telah membuka landscape pemikiran baru dalam perkembangan pemikiran yang bercorak empiris dan historis dalam hubungannya dengan realitas masyarakat. Upaya ini lebih mendamaikan polarisasi antara sains modern yang didominasi dan dikuasai Barat dengan wacana keIslaman yang masih berada pada titik inferioritas peradaban global. Kritik epistemologi, adalah  berangkat dari proses “obyektivikasi Islam” yang pernah digagas oleh Pak Kuntowijoyo. Upaya obyektivikasi Islam  merupakan proses dinamisasi agama yang diarahkan menuju pada ilmu yang kemudian terjadi dialektika antara agama dengan sains modern. Sebenarnya, langkah dan strategi Islamisasi ilmu lebih mengarah pada dehegemoni pengetahuan Barat. Dalam wilayah ilmu-ilmu sosial, hal demikian sangat memungkinkan karena sesungguhnya ilmu-ilmu Barat yang selama ini sudah mapan adalah upaya Barat sendiri untuk “menguasai” pengetahuan yang lain. Dengan klaim universalitas dan obyektivitas Barat ingin “meniadakan” ruang-ruang bagi kemungkinan kebenaran ilmu dari yang di luar Barat. Ada campuran kepentingan antara penmgetahuan, ideologi, dan kekuasaan yang merupakan bagian kolonialisme Barat.
Pada dasarnya epistemologi adalah cara untuk mendapatkan yang benar. Nilai kebenaran akan lebih baik dan lebih tepat apabila dilandasi dengan upaya pemahaman kritis. Krititisme adalah sebuah pendekatan kritik epistemologis yang merupakan pemikiran dari Immanuel Kant (1724-1804 M). Kant menganggap aufklarung adalah sebagai “jalan keluar” untuk membebaskan manusia yang masih menggantungkan diri pada otoritas di luar dirinya. Kant menyatakan bahwa harus ada upaya untuk menentukan batas-batas kemampuan dan syarat kemampuan rasio agar kita bisa menentukan  apa yang mungkin kita ketahui, kita kerjakan, dan kita gantungi harapan. Inilah kritisme yang dimaksud Kant (Rabinow dalam Amin Abdullah, 2003:366). Pemahaman Islam layak untuk dikritisi agar maknanya bisa didekati secara rasional menurut kebutuhan masa kini.
Menurut tahapannya jenis pengetahuan itu ada tiga macam, yaitu : ontologi (apa), epistemologi (bagaimana), dan aksiologi (untuk apa). Keterkaitan itu akan saling memberikan makna. Ontologi akan menentukan epistemologi; epistemologi juga menentukan aksiologi. Epistemologi adalah proses utamanya (Suriasumantri, 2005:105). Epistemologi kemudian terbagi menjadi tiga, yaitu : empiris, rasional, dan intuitif. Pendekatan empiris menekankan pada pencapaian ilmu melalui data dan fakta yang ada dalam wilayah empirik. Sedangkan pendekatan rasional mengambil ilmu melalui akal budi dan rasio manusia bahwa sesuatu itu bisa dinalar dan dipahami. Sedang intuitif lebih melihat pada kemampuan “rasa” diri manusia atau melalui wahyu dan intuisi di luar dirinya. Dalam Islam, epistemologi seperti ini dirangkum oleh para cendekiawan muslim, yang kemudian dikembangkan oleh M. Abed Al-Jabiry, menjadi: Bayani, ‘Irfani, dan Burhani. Bayani (deskriptif) itu mirip dengan empirik, ‘Irfani itu mirip dengan intuitif, dan Burhani itu bisa disamakan dengan rasional.
kaitannya  dengan  gagasan Islamisasi ilmu
Upaya Islamisasi ilmu bagi kalangan muslim yang telah lama tertingga jauh dalam peradapan dunia modern, memiliki dilemma tersendiri. Apakah kita akan membungkus sains Barat dengan label “Islami” atau “Islam”? ataukah kita berusaha keras mentransformasikan normativitas agama, melalui rujukan utama al-Qur’an dan Hadits kedalam realitas kesejarahan secara empirik. Keduanya sama-sama sulit jika tidak dilandasi dengan dasar kritik epistemologi.

Memahami Sains dan Agama
Dalam kenyataan sehari-hari perkataan sains dan agama, seringkali menimbulkan pemahaman yang distorsif. Tidak jarang orang memahami sains sebagi ilmu pengetahuan yang bersifat empiris, positif, terukur dan dapat diuji atau dieksprimentasikan. Sebaliknya, agama dipandang sebagai sesuatu yang mewakili hal-hal yang supra ilmiah, sesuatu yang melampaui fisik, empiris dan meta positif. Tidak salah jika agama seringkali dianggap sebagai sesuatu yang mengusai ruang pembahasan yang bersifat metafisik, metaempiris dan metapositif.
Dalam beberapa literature ada banyak difenisi tentang agama seperti menurut antropolog B. Taylor, ia mengatakan bahwa agama adalah kepercayaan kepada hal-hal yang ghaib (religion is the belief in spiritual being) (Peter Conolly, 2002:12). Menurut Emile Durkheim agama dipahami sebagai suatu keseluruhan yang bagian-bagiannya saling berkaitan yang satu dengan yang lainnya, terdiri dari kepercayaan dan penyembahan, yang semuanya dihubungkan dengan hal-hal yang suci dan mengikat pengikutnya dalam suatu masyarakat (Peter Conolly, 2002:13). Sedangkan Poerwadarminta menjelaskan bahwa agama adalah segenap kepercayaan (kepada Tuhan, dewa dan sebagainya) serta dengan kebaktian dan kewajiban-kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan itu.
Dalam paparan ini kita telah memberikan penjelasan tentang makna agama. Namun, hal yang tidak boleh dilupakan bahwa yang dimaksud agama dalam konteks ini adalah agama sebagai peradapan dan pengetahuan (Religion as a Civilization and Knowledge). Agama sebagai peradapan tidak dapat dinafikan berkaitan dengan problem pengetahuan. Kata agama yang disandingkan dengan kata sains dalam konteks ini mempunyai maksud sebagai ilmu agama dan ilmu pengetahun non-agama yang bisa diklaim sains dewasa ini.

Integrasi Sains dan Agama
Secara etimologi, kata integrasi berasal dari kata integrate (verb), integration (noun) yang diartikan sebagai combine (parts) into in whole; join with other group or race. Kata combine sendiri secara etimologi dipahami sebagai join together dan group of persons, companies ec joined for purpos (Cowei dalam Rosyidi dan In’am Esha, 2006:64). Dengan demikian, integrasi dapat dipahami sebagai usaha menggabungkan bagian-bagian yang terpisah menjadi satu kesatuan.
Integrasi berkaitan dengan keilmuan, barangkali dapat dilihat dari apa yang dikatakan oleh Andrew Jamison. Jamison dalam tulisannya “Globalization and the Revival of Tradition Knowledge”, ia menjelaskan bahwa dalam konteks kekinian seiring dengan perkembangan teknologi dan informasi di era globalisasi perlu dikembangkan sebuah paradigma keilmuan yang menggunakan pendekatan integratif.
Pertanyaannya sekarang mengapa perlu integrasi? Jawaban sederhana atas pertanyaan ini karena adanya diintegrasi keilmuan. Dengan kata lain, selama ini kita dihadapkan pada kenyataan adanya dikotomi keilmuan. Keilmuan agama dan keilmuan non-agama  atau dewasa ini sering disebut sains dan agama.
Sebagaimana dijelaskan oleh Kartanegara (2005:1), sebenarnya hal ini bukanlah hal baru dalam tradisi Islam. Dalam dunia Islam dikotomi ini sebenarnya bukan hal yang baru, karena Islam telah mempunyai tradisi dikotomi lebih dari seribu tahun lalu. Namun, hal ini tidak menimbulkan masalah yang berarti, hingga sekularisme Barat diperkenalkan dalam dunia Islam.
Secara konseptual sebenarnya bagi umat muslim, ilmu pemgetahuan dan teknolgi bukan merupakan hal yang baru. Ia merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kemajuan dan pandangan dinia Muslim (world-view). Oleh sebab itu tidaklah mengherankan jika ilmu memiliki arti yang sedemikian penting bagi kaum muslimin pada masa awalnya (Zainuddin, 2004:7).
Dengan demikian secara historis dapat dikatann bahwa sains dan teknologi adalah warisan intelektual umat Islam yang tidak terpisahkan. Oleh sebab itu, umat Islam harus menemukan kembali warisan yang berharga itu. Umta Islam mesti ingat sabda Nabi “bahwa ilmu pengetahuan (hikmah) adalah perbendaharaan orang mukmin yang telah hilang. Barang siapa menemukannya, maka ia berhak atasnya”.

Dasar Pemikiran Integrasi Sains dan Agama
Persinggungan antara agama dan sains telah menunculkan perdebatan yang hangat dalam diskursus keilmuan kontemporer. Hal ini disebabkan karena kajian-kajian keagamana seringkali membawa “perseteruan” terhadap kajian-kajian sains. Agama sering diartikan sebagai bentuk kepedulian tertinggi (ultimate concern) atau sebagai cita rasa terhadap hal-hal yang bersinggungan dengan misteri karena persinggungan manusia dengan agama selalu manimbulkan gejolak-gejolak bathiniah yang mampu memberiakn kepuasan yang tak terkira.
Begitu juga sains dengan keberhasilannya yang gemilang dalam berbagai aspek kehidupan umat manusia. Terutama sejak renaissance, keberhasilannya telah menimbulkan gagasan yang mendua: antara harapan baru dan kehawatiran baru. Memunculkan harapan baru karena sains yang spektakuler akan mempercepat dan mempermudah manusia dalam memenuhi kebutuhannya. Dengan kemajuan sains, manusia merasa tercukupi semua kebutuhan biologis-jasmaniahnya.  Bahkan bisa jadi agama dianggap sebagai candu yang merantai manusia, seperti yang dikemukakan Karl Marx. Hal inilah yang merupakan kekhawatiran baru itu.
Menurut Rosyidi dan In’am Esha (2006:68) ada beberapa hal yang memicu timbulnya dikotomi keilmuan, yaitu:
Pertama, kesenjangan tentang sumber ilmu. Para pendukung ilmu-ilmu agama hanya menganggap valid sumber-sumber Ilahi dalam bentuk kitab suci dan trasdisi kenabian dan menolak sumber-sumber non-skriptual sebagai sumber otoritatif untuk menjelaskan kebenaran yang sejati. Di pihak lain, ilmuwan-ilmuwan sekuler hanya menganggap valid informasi yang diperoleh melalui pengamatan inderawi. Karena mereka, satu-satunya sumber ilmu adalah pengamatan empiris melalui pesepsi inderawi seperti dalam pandangan positivisme.
Kedua, selain problem di atas, dikotomi keilmuan timbul berkenaan denagn obyek-obyek ilmu yang dianggp “sah” untuk sebuah disiplin ilmu. Sains modern telah menentukan bahwa obyek-obyek ilmu yang sah adalah “segala sesuatu sejauh ia dapat diobservasi atau dapat diamati oleh indra. Sedangkan para pendukung ilmu agama justru menganggap bahwa obyek-obyek non fisik, seperti Tuhan, malaikat ataupun jiwa sebagai obyek mulia yang pembahasan tentangnya dapat menguatkan dan meningkatkan status ilmiah bidang yang mempelajari obyek tersebut.
Ketiga, tataran metodologi ilmiah juga menyebabkan timbulnya dikotomi tersebut. Sains modern pada dasarnya mengenal satu metode ilmiah yang disebut metode observasi atau eksprimen. Dipihak lain, kaum agamis tradisional telah mengembangkan metode-metode yang menjauhkan umatnya dari penggunaan pengamatan indera dan juga penalaran akal dalam ilmu-ilmu agama. Materi-materi keagamaan dipahami secara turun temurun sebagai dogma yanmg mati, dengan menyingkirkan segala macam interpretasi baru yang dianggapnya sebagai did’ah, bukan berdasrkan argument rasional dan ilmiah.

Tipologi Pemikiran Integrasi Sains dan Agama
Ian G. Barbour dalam bukunya Menemukan Tuhan dalam Sains Kontemporer dan Agama mengatakan bahwa hubungan sains dan agama selama ini mengkonstruk dalam empat gubungan, yaitu: konflik, independensi, dialog dan integrasi (Barbour, 2005:12).
Dalam hubungan konflik, sains dan agama saling menegaskan kebenaran yang lain (kontradiktif). Contoh nyata dalam hal ini adalah terjadinya penghukuman terhadap Galileo Galilei yang diberikan Gereja Katolik pada abad ke-17. Namun, tidak semua ilmuwan berpandangan dengan sikap permusuhan seperti itu. Sebagian besar justru menganut pandangan independensi bahwa sains dan agama mempunyai kebenaran sendiri-sendiri yang terpisah satu sama lain, sehingga bisa hidup berdampingan satu sama lain. Agama dianggap sebagi nilai-nilai, sedangkan sains berhubungan dengan fakta.
Dalam hubungan dialogis, sains dan agama mempunyai persinggungan yang bisa didialogkan satu sama lain. Pendapat ini tercermin dari perkataan fisikawan beasr Albert Einstein, “Religion without science is blind, science without religion is lame”.
Dalam hubungan integratif, baik sain maupun agama menyadari akan adanya suatu wawasan yang lebih besar mencakup keduanya sehingga bisa bekerja sama secara aktif. Bahkan, sains bisa meningkatkan kenyakinan umat beragama dengan memberi bukti ilmiah atas wahyu atau pengalaman mistis. Pandangan integrative yang lebih fundamental atas pandangan pluralisme epistemologi postmodern baik sain maupun agama dapat bekerja sama karena keduanya merupakan interpretasi intersubyektif yang berbeda-beda pada pengalaman manusia, seperti halnya seni, sastra, maupun filsafat yang setarata satu sama lainnya (Barbour, 2005:12).
Berbicara tentang ide Islamisasi ilmu, dari sebagian banyak cendikiawan muslim yang pernah memperdebatkan tentang  Islamisasi ilmu, dia antaranya bisa disebut adalah : Ismail Raji Al-Faruqi, Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Fazlur Rahman, dan Ziauddin Sardar. Kemunculan ide Islamisasi ilmu tidak lepas dari ketimpangan-ketimpangan yang merupakan akibat langsung keterpisahan antara sains dan agama. Sekularisme telah membuat sains sangat jauh dari kemungkinan untuk didekati melalui kajian agama. Pemikiran kalangan yang mengusung ide Islamisasi ilmu masih terkesan sporadis, dan belum terpadu menjadi sebuah pemikiran yang utuh.
Akan tetapi, sejak abad 15 H tema ini telah menjadi tema sentral di kalangan cendikiawan Muslim. Ada tiga tanggapan ilmuwan muslim terhadap sains modern yang kemudian masing-masing pendapat ini akan menentukan bagaimana pandangan mereka pula terhadap ide Islamisasi ilmu. Ziauddin Sardar mecatat ada tiga kelompok yang memandang sains modern kini. Pertama, kelompok muslim apologetik : kelompok ini menganggap sains modern bersifat netral dan universal. Mereka berusaha melegitimasi hasil-hasil penemuan sains dengan mencari padanan ayat-ayatnya yang sesuai dengan teori dalam sains tersebut. Karena hanya sebagai bentuk apologia saja maka pandangan kelompok ini hanya sebagai penyembuh luka bagi umat Islam secara psikologis, bahwa umat Islam tidak ketinggalan zaman. Kedua, kelompok yang mengakui sains Barat, tetapi berusaha mempelajari sejarah dan filsafat ilmuan agar dapat menyaring elemen-elemen yang “tidak Islami”. Dan yang ketiga, kelompok yang percaya dengan adanya sains Islam dan berusaha membangun Islamisasi di seluruh elemen sains.
Kelompok pertama diwakili oleh Fazlur Rahman. Pemikir neo-modernis ini pernah tidak setuju dengan gagasan Islamisasi ilmu. Baginya, yang perlu dilakukan adalah “menciptakan dan menghasilkan para pemikir yang memiliki kapasitas berfikir konstruktif dan positif”. Kelompok kedua diwakili oleh Naquib Al-Attas. Pada konfrensi dunia tentang pendidiakn muslim di Mekkah pada tahun 1977 Al-Attas mengemukakan gagasan tentang perlunya upaya Islamisasi ilmu (Shafie, 2005:69). Menurutnya, desekularisasi ilmu yang dilandasi dengan epistemologi Islam, adalah strategi untuk melakukan upaya Islamisasi ilmu. Desekularisasi berarti kita perlu membersihkan unsur-unsur yang menyimpang sehingga ilmu pengetahuan yang ada bisa benar-benar “Islami” (Shafie, 2005:70). Dan kelompok ketiga diwakili oleh Ismail Raji Al-Faruqi, dengan gagasan primernya “Islamization of Knowledge”. Menurutnya, pengetahuan-pengetahuan modern telah menyebabkan adanya pertentangan antara wahyu dan akal dalam diri umat Islam, yang memisahkan pemikiran dari aksi, serta adanya dualisme kultural dan religius (Shafie, 2005:73). Bagi Faruqi Islamisasi ilmu harus beranjak dari tauhid, dan selalu menekankan adanya kesatuan pengetahuan, yaitu disiplin untuk mencari obyektif yang rasional dan pengetahuan yang kritis mengenai kebenaran; kesatuan hidup, segala disiplin harus menyadari dan mengabdi kepada tujuan penciptaan; dan kesatuan sejarah, segala disiplin akan menerima yang ummatis atau kemasyarakatan dari seluruh aktivitas manusia, dan mengabdi pada tujuan-tujuan ummah di dalam sejarah.
Menurut Al-Faruqi, jalur-jalur mekanisme Islamisasi sains adalah : (1) penguasaan disiplin ilmu modern; (2) survai disiplin ilmu pengetahuan; (3) penguasaan khasanah Islam, sebuah ontologis; (4) penguasaan khasanah ilmiah Islami, tahap analisis; (5) penemuan relevansi Islam yang khas terhadap disiplin-disiplin ilmu pengetahuan; (6) penilaian kritis terhadap disiplin ilmu modern; (7) penilaian kritis terhadap khasanah Islam; (8) Survai permasalahan yang dihadapi umat manusia; (10) analisis kritis dan sintesis; (11) penuangan kembali disiplin ilmu modern ke dalam kerangka Islam, dan (12) penyebaran ilmu-ilmu yang telah diIslamisasikan. Jika dicermati secara mendalam, sebenarnya Al-Faruqi juga mencoba bersikap moderat terhadap ilmu-ilmu modern. Hanya saja, dia terkesan apologetik dengan berangkat dari universalisme Islam (tauhid) yang dimaknai secara literal dan terkesan agak memaksa lewat internalisasi nilai-nilai Islam.
Al-Faruqi tidak secara pasti mengatakan bahwa titik pijaknya adalah epistemologi Islam. Ia agak berbeda dengan Sardar dan Naquib Al-Attas, yang memandang perlunya untuk membangun konsep epistemologi Islam sebagai pandangan dunia (world view) Islam. Sardar (dalam Ali Noer Zaman, 2003:44-45) memandang bahwa ciri utama epistemologi Islam adalah: (1) didasarkan atas suatu pedoman mutlak; (2) epistemologi Islam bersifat aktif dan bukan pasif; (3) memandang objektivitas sebagai masalah umum; (4) sebagian besar bersifat deduktif; (5) memaduka pengetahuan dengan nilai-nilai Islam; (6) memandang pengetahuan bersifat inklusif; (7) menyusun pengalaman subyektif; (8) perpaduan konsep tingkat kesadaran dengan tingkat pengalaman subyektif; (9) tidak bertentangan dengan pandangan holistik. Dengan demikian epistemologi sesuai dengan pandangan yang lebih menyatu dari perkembangan pribadi dan pertumbuhan intelektual.
Agenda Islamisasi ilmu jangan sampai berangkat dari asumsi-asumsi ideologis bahwa Islam meliputi segalanya (universalisme semu), sehingga semuanya harus mengikuti apa yang terkandung dalam ajaran-ajaran Islam. Persoalannya, makna yang terkandung dalam Islam tidak lantas kita anggap final dan absolut. Sisi historisitas agama harus dieksplor lebih dalam lagi agar bisa didialogkan dengan realitas kekinian. Tradisi kritik epistemologis akan membuka ruang kritisisme terhadap pengetahuan yang sudah mapan, termasuk pula pemahaman mengenai agama. Menarik sekali jika kita baca bukunya Ali Harb Kritik Nalar Al-Qur’an (2003), yang menyatakan bahwa pengetahuan yang menghasilkan kebenaran tidak bisa bebas dari kritik. Kritik atas kritik kebenaran terus berlangsung karena memang tidak ada kebenaran yang absolute, termasuk kebenaran mengenai pengetahuan manusia.
Langkah yang sangat strategis adalah dengan membuat konsep yang utuh mengenai epistemologi Islamisasi ilmu, dan itu bisa dibuka melalui wacana kritik epistemologis. Pengetahuan Barat yang selama ini masih mendominasi harus selayaknya “dibongkar” agar bisa setara dengan pengetahuan di luarnya. Di tengah memudarnya pesona modernitas dan hancurnya sendi-sendi moralitas, gerakan Islamisasi ilmu bisa menjadi salah satu alternatif bagi upaya “penyembuhan” bagi kelemahan pengetahuan dunia selama ini.

Penutup
Kalau kita mencermati apa yang terungkap dari islamisasi ilmu ini, maka setidaknya ada beberapa hal yang patut kita catat. Pertama, bahwa makna integrasi secara harfiah dipahami sebagi penyatuan dua hal atau lebih yang saling terpisah. Integrasi juga dipahami sebagai bersatunya beberapa hal yang berbeda menjadi satu kesatuan yang utuh.
Sedangkan integrasi sains dan agama dipahami sebagai upaya memadukan antara ilmu-ilmu umum dan ilmu-ilmu agama. Dalam persepektif yang lain, mereka memahami imtegrasi sains dan agama sebagai upaya mencari dari sumber-sumber al-Qur’an dengan tanpa menghilangkan teori yang ada. Integrasi sains dan agama juga dipahami sebagai segala modus untuk menjadikan agama sebagai inspirasi pengembangan sains, dan sebaliknya juga menjadikan sains sebagai penjelasan untuk memahami informasi yang terdapat dalam agama.
Dengan demikian, integrasi sains dan agama dipahami sebagai upaya untuk mendialogkan antara sains dan agama baik dalam rangka untuk mempertegas teori keilmuan yang sudah ada dengan dalil-dalil dalam al-Qur’an, maupun sebaliknya menjadikan sains sebagi penjelas terhadap al-Qur’an. Hal ini menunjukkan bahwa integrasi sains dan agama dipahami sebagai langkah strategis untuk mempertemukan hasanah dua keilmuan dalam satu sinergi.
Integrasi ilmu dan agama, merupakan sebuah upaya strategis untuk memposisikan kembali keberadaan sains dan agama dalam kedudukan yang seimbang. Munculnya gagasan integrasi tidak lain karena realitas kontemporer yang ada. Modernisme dengan paradigma positivisme telah meletakkan ilmu-ilmu positif lebih dominant dan agama diletakkan pada jenjang terendah dalam struktur ilmu. Hal itulah yang pada kenyataannya menimbulkan problem krusial bagi manusia.

 DAFTAR RUJUKAN

Abdullah. 1995. Kontribusi Islam atas Dunia Barat (Pent). Surabaya: Risalah Gusti
Abdullah, Amin. 2003. Etika Tauhidik Sebagai Dasar Kesatuan Epistemologi Keilmuan Umum dan Agama. Yogyakarta: Suka Press
Barbour G, Ian. 2005. Menemukan Tuhan dalam Sains Kontemporer dan Agama. Bandung: Mizan
Conolly, Peter (Ed). 2002. Aneka Pendekatan Studi Agama. Yogyakarta:LkiS
Kartanegara, Mulyadi. 2005. Integrasi Ilmu: Sebuah Rekonstruksi Holistik. Jakarta: Arasy Mizan dan UIN Jakarta Press
Rosyidi, Abd. Wahab Dan M. In’am Esha. Integrasi Sains dan Agama. Jurnal Ulul Albab, Vol 7, No. 1, Tahun 2006. Malang: UIN Malang
Shafie, Bazli Ahmad. Konsep Islamisasi Ilmu Al-Attas Dan Al-Faruqi: Evaluasi Terhadap Sebuah Analisa Perbandingan. Majalah Islamia, Vol. Ii, No. 3. Tahun 2005
Suriasumantri S, Jujun. 2005. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Sinar Harapan. Cet XVIII
Zainuddin, M. et.all. 2004. Memadu Agama dan Sains. Malang: Bayu Media
Zaman, Noer Ali. (Pent). 2003. Persoalan-Persoalan Filsafat Agama: Kajian Pemikiran 9 Tokoh dalam Sejarah Filsafat dan Teologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

























Tidak ada komentar:

Posting Komentar