Senin, 21 Maret 2011

MODEL KURIKULUM PADA MASA DINASTI ABBASIYAH DAN RELEVANSINYA DENGAN KURIKULUM MODERN


Oleh: Ummamah Amief

Pendidikan sebagai suatu sistem merupakan satu kesatuan dari beberapa unsur dalam rangka mencapai tujuan pendidikan yang diinginkan. Unsur-unsur tersebut saling berhubugan dan saling bergantung dalam mencapai tujuan. Salah satu unsur tersebut adalah kurikulum, baik kurikulum di zaman klasik maupun kurikulum modern.
Kurikulum dalam pendidikan Islam pada zaman dahulu tentunya tidak sama dengan kurikulum modern. Menurut Ahmad Tafsir, kurikulum adalah sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh atau dipelajari oleh siswa. Lebih luas lagi kurikulum bukan hanya sekedar rencana pelajaran, tetapi semua yang secara nyata terjadi dalam proses pendidikan di sekolah.[1] Pada lembaga pendidikan saat ini, siswa dituntut untuk mempelajari sejumlah bidang studi yang ditawarkan oleh lembaga. Disamping itu, siswa juga diwajibkan mengikuti serangkaian kegiatan sekolah yang dapat memberikan pengalaman belajar.
Pada awal Islam, kurikulum yang terdapat di lembaga pendidikan Islam tidak menawarkan mata pelajaran yang bermacam-macam. Dalam suatu jangka waktu, pengajaran hanya penyajikan satu mata pelajaran yang harus ditempuh oleh siswa. Sesudah materi tersebut selesai, baru ia diperbolehkan mempelajari materi yang lain, atau yang lebih tinggi tingkatannya. Misalnya pada tahap awal siswa diharuskan belajar baca-tulis, berikutnya ia belajar berhitung dan seterusnya.
Kurikulum dalam lembaga pendidikan pada masa klasik pada mulanya berkisar pada bidang studi tertentu. Namun seiring perkembangan social dan kultural, materi kurikulum menjadi semakin luas. Pada masa Nabi di Madinah, materi pelajaran berkisar pada belajar menulis, membaca Al-Qur’an, keimanan, ibadah, akhlak, dasar ekonomi, dasar politik dan kesatuan.[2] Setelah wilayah Islam semakin luas, Islam harus bersentuhan dengan budaya masyarakat non-Islam yang menyebabkan permasalahan social semakin komples. Problem social tersebut pada akhirnya berpengaruh besar terhadap kehidupan keagamaan dan intelektual Islam, termasuk ilmu Hellenistik yang terjalin kontak dengan Islam. Perkembangan kehidupan intelektual dan kehidupan keagamaan dalam Islam membawa situasi lain bagi kurikulum pendidikan Islam. Maka diajarkanlah ilmu-ilmu baru seperti Tafsir, Hadits, Fiqih, Tata Bahasa, Sastra, Matematika, Teologi, Astronomi dan Kedokteran.[3]
Penelitian ini mengambil setting bentuk kurikulum pada masa Dinasti Abbasiyah (132-656 H/750-1258 M) terutama pada masa khalifah Harun al-Rasyid (170-193 H/876-809 M), dengan alasan bahwa pada masa dinasti Abbasiyah berada pada masa puncak kejayaan Islam dan ilmu pengetahuan berkembang dengan pesatnya. Alasan kedua karena pada masa dinasti Abbasiyah khususnya pada masa khalifah Harun al-Rasyid pengembangan ilmu pengetahuan betul-betul diperhatikan, salah satu buktinya dengan didirikannya kuttab sebagai pendidikan dasar dan Bait al-Hikmah, yang kemudian dilanjutkan oleh khalifah al-Makmun

Sejarah Singkah Berdirinya Dinasti Abbasiyah
Kekuasaan dinasti Bani Abbas atau khilafah Abbasiyah melanjutkan kekuasaan dinasti Bani Umayyah. Dinamakah khilafah Abbasiyah karena pendiri dan penguasa dinasti ini adalah keturunan al-Abbas paman Nabi Muhammad SAW. Dinasti Abbasiyah didirikan oleh Abdullah al-Saffah ibn Muhammad ibn Ali ibn Abdullah ibn Abbas. Kekuasaannya berlangsung dalam rentang waktu antara tahun 132-656 H/750-1258 M.[4] Selama dinasti ini berkuasa, pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, sosial, dan budaya. Berdasarkan perubahan pola pemerintahan dan politik itu, para sejarawan membagi masa pemerintahan Bani Abbas menjadi lima periode:[5]
1. Periode Pertama (132H/750 M – 232 H/847 M), disebut periode pengaruh Persia pertama
2. Periode Kedua (232 H/847 M – 334H/945 M), disebut masa pengaruh Turki pertama
3. Periode Ketiga (334 H/945 M – 447 H/1055 M), masa kekuasaan dinasti Buwaih dalam pemerintah khalifah Abbasiyah. Periode ini disebut juga masa pengaruh Persi kedua.
4. Periode Keempat (447 H/1055 M – 590 H/1194 M), masa kekuasaan dinasti Seljuk dalam pemerintahan khalifah Abbasiyah, masa ini disebut juga dengan masa pengaruh Turki kedua.
5. Periode Kelima (590 H/1194 M – 656 H/1258 M), masa khalifah bebas dari pengaruh dinasti lain, tetapi kekuasaannya hanya efektif di sekitar kota Bagdad.
Secara umum faktor-faktor berdirinyan daulah Abbasiyah dapat dijelaskan sebagai berikut:
1.    Banyak terjadi perselisihan intern antara Bani Umayyah pada dekade tahun pemerintahannya.
2.    Pendeknya masa .jabatan Khalifah diakhir-akhir pemerintahan Bani Umayyah, seperti khalifah Yazid bin Al-Walid yang memerintah sekitar 6 bulan.
3.    Jumlah putra mahkota lebih dari 1 orang seperti yang dilakukan oleh Marwan bin Muhammad yang menjadikan anaknya Abdullah dan Ubaidillah sebagai putra mahkota.
4.    Bergabungnya sebagian afrad keluarga Umayyah kepada mazhab-nmazhab yang tidak benar menurut syari’ah.
5.    Hilangnya kecintaan rakyat pada akhir-akhir pmerintahan Bani Umayyah.
6.    Kesombongan pembesar-pembesar Bani Umayyah pada ahkuir pemerintahannya.
7.    Timbulnya dukungan dari Al-Mawali (non Arab)[6]
Pada periode pertama pemerintahan Bani Abbas mencapai masa keemasannya. Secara politis, para khalifah betul-betul tokoh yang kuat dan merupakan pusat kekuasaan politik dan agama. Di sisi lain, kemakmuran masyarakat mencapai tingkat tertinggi. Periode ini juga berhasil menyipakan landasan bagi perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan Islam. Namun, periode ini sangat singkat hanya empat tahun.
Popularitas daulat Abbasiyah mencapai puncaknya pada zaman khalifah Harun al-Rasyid (786-809 M) dan puteranya al-Ma’mun (813-833 M). Menurut as-Sayuti bahawa zaman pemerintahan Khalifah Harun al-Rasyid seluruhnya merupakan zaman yang penuh dengan kabaikan, semuanya indah seperti pengantin-pengantin baru.[7] Kekeyaan banyak dimanfaatkan oleh Harun al-Rasyid untuk keperluan sosial, rumah sakit, lembaga pendidikan dokter dan farmasi didirikan, disamping itu, pemandian-pemandian umum juga dibangun. Tingkat kemakmuran yang paling tinggi terwujud pada zaman khalifah ini. Kesejahteraan sosial, kesehatan, pendidikan, ilmu pengetahuan, kebudayaan serta kesusasteraan berada pada zaman keemasannya. Al-ma’mun sebagai pengganti Harun al-Rasyid dikenal sebagai khalifah yang cinta ilmu pengetahuan, sehingga pada masa pemerintahannya penerjrmahan buku-buku asing digalakkan. Beliau juga banyak mendirikan sekolah, salah satu karya besarnya yang terpenting adalah pembangunan bait al-Hikmah sebagai pusat penerjemahan yang berfungsi sebagai perguruan tinggi dengan perpustakaan yang terbesar. Pada masa al-Ma’mun inilah Bagdad menjadi pusat ilmu pengetahuan.

Pengertian Kurikulum
Secara umum kurikulum diartikan sebagai mata pelajaran yang diajarkan di sekolah. Pengertian ini dianggap masih tradisional dan masih banyak dianut sampai sekarang. Dalam perkembangan kurikulum sebagai suatu kegiatan pendidikan, timbul berbagai difenisi lain. Seperti yang diungkapkan oleh Saylor dan Alexander sebagaimana dikutip M. Ahmad kurikulum sebagai “the total effort of the school to going about desired outcomes in school and out-of-school situation.[8]
Dari pengertian diatas kurikulum tidak hanya sekedar mata pelajaran, tetapi segala usaha sekolah untuk mencapai tujuan yang diinginkan, baik situasi di dalam sekolah maupun di luar sekolah.
Secara etimologi kurikulum berasal dari bahasa Yunani “currere” yang mula-mula digunakan dalam bidang olahraga yang berarti jarak tempuh lari. Dalam kegiatan berlari tentu saja ada jarak yang harus ditempuh mulai start sampai dengan finish. Jarak dari start sampai dengan finish ini disebut currere.
Istilah kurikulum semula berasal dari istilah dari dunia atletik yaitu currere yang berarti berlari. Istilah tersebut erat hubungannya dengan kata curier yang berarti penghubung seseorang untuk menyampaikan sesuatu kepada orang atau tempat lain. Seorang kurir harus menempuh suatu perjalanan untuk mencapai tujuan, maka istilah kurikulum kemudian diartikan sebagai jarak yang harus ditempuh.[9] Dari istilah atletik, kurikulum mengalami pergeseran arti ke dunia pendidikan, misalnya pengertian kurikulum yang tercantum dalam Webster’s International Dictionary “curriculum: course a specified fixed course of study, as in a school or college, as one leading to a degree”.
Kuikulum diartikan sebagai sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh dan dikuasai untuk mencapai suatu tingkat tertentu atau ijazah. Disamping itu, kurikulum juga diartikan sebagai suatu rencana yang sengaja dirancang untuk mencapai sejumlah tujuan pendidikan. Itulah sebabnya, pada masa klasik kurikulum disebut dengan istilah rencana pelajaran.
Konsep kurikulum berkembang sejalan dengan perkembangan teori dan praktik pendidikan dan banyak pakar pendidikan yang mendefinisikan kurikulum sesuai dengan aliran atau teori pendidikan yang dianutnya. Berikut ini adalah definisi kurikulum menurut para ahli pendidikan, yaitu:
Menurut John Dewey kurikulum merupakan suatu rekonstruksi berkelanjutan yang mamaparkan pengalaman belajar anak didik melalui suatu susunan pengetahuan yang terorganisasikan dengan baik.
Menurut Raph Tyler kurikulum adalah seluruh pengalaman belajar yang direncanakan dan diarahkan oleh sekolah untuk mencapai tujuan pendidikan. Menurut Hilda Taba kurikulum adalah pernyataan tentang tujuan-tujuan pendidikan yang bersifat umum dan khusus dan materinya dipilih dan diorganisasikan berdasarkan suatu pola tertentu untuk kepentingan belajar dan mengajar.
Menurut Robert Gagne kurikulum adalah suatu rangkaian unit materi belajar yang direncanakan sedemikian rupa sehingga anak didik dapat mempelajarinya berdasarkam kemampuan awal yang dimilliki/dikuasainya.
Dari definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa kurikulum itu berisi bahan yang disajikan (materi pelajaran), pengalaman belajar, tujuan yang ingin dicapai, kegiatan pengajaran dan rencana yang terorganisir.
Bentuk-Bentuk Kurikulum
Para pendidik berbeda pendapat tentang pola pengembangan kurikulum dan pola penyusunan materi pelajaran. Hal ini disebabkan adanya perbedaan pendapat mereka tentang tujuan, makna dan metode pendidikan. Dalam pengembangan kurikulum dan penyusunan materi pelajaran ada beberapa bentuk kurikulum, yaitu: Separate-Subject Curriculum, Correlated Curriculum Dan Integrated Curriculum.[10]
1. Separate-Subject Curriculum
Kurikulum yang disusun dalam bentuk ini menyajikan bahan pelajaran dalam bentuk subjek-subjek atau mata pelajaran tertentu. Tiap mata pelajaran tersebut satu dengan yang lain bersifat terpisah-pisah dan tidak dikaitkan. Dalam kurikulum ini setiap materi pelajaran mempunyai eksistensi sendiri dengan perangkat pengetahuan yang benar-benar terpisah dari materi dan pengetahuan yang lain.
Kurikulum yang disusun dalam bentuk terpisah-pisah itu lebih bersifat subject-centered, berpusat pada bahan pelajaran dan mengabaikan minat dan keinginan siswa. Kurikulum ini disusun berdasarkan teori habitus, yang beranggapan bahwa keperibadian siswa itu dapat terbentuk berdasarkan potongan-potongan pengetahuan. Berdasarkan pandangan tersebut, kepribadian yang utuh dapat dibentuk berdasarkan sejumlah pengetahuan yang diperoleh secara terpisah.
2. Correlated Curriculum
Bentuk kurikulum ini dibuat bedasarkan sebuah pandangan psikologis yang menggantikan teori sebelumnya dan munculllah teori asosiasi. Menurut teori asosiasi bahwa akal manusia tersusun dari interkorelasi dan interaksi antar-berbagai pengetahuan, dan pengetahuan yang baru pasti bertalian dengan pengalaman dan pengetahuan terdahulu.[11] Kurikulum dengan bentuk ini menyajikan berbagai materi pelajaran seakan-akan merupakan mata rantai yang saling terkait.setiap mata rantai darinya harus bertalian dengan yang sebelumnya atau dibangaun atas suatu rantai yang sebelumnya. Oleh sebab itu dalam setiap pengajaran terlebih dahulu harus dimulai dengan mengingat kembali pelajaran-pelajaran yang telah lalu.            
3. Integrated Curriculum
Berbeda halnya dengan kurikulum bentuk correlated subject yang hanya menghubungkan antara beberapa mata pelajaran yang masing-masing masih mempertahnkan efisiensinya, kurikulum bentuk intregated ini benar-benar menghilangkan batas-batas di antara berbagai mata pelajaran ini. Mata pelajaran itu dilebur menjadi satu keseluruhan dan disajikan dalam bentuk unit. Misalnya mata pelajaran ekonomi, sosiologi, antropologi, geografi, sejarah dilebur menjadi satu mata pelajaran yaitu pelajaran ilmu pengetahuan sosial.

Kurikulum Pendidikan Islam
1. Prinsip-Prinsip Kurikulum Islam
Ada empat model konsep kurikulum, yaitu kurikulum subjek akademik yang lahir dari teori pendidikan klasik, kurikulum humanistik yang lahir dari teori pendidikan kepribadian, kurikulum teknologis yang lahir dari teori pendiduikan teknologis dan kurikulum rekonstruksi social yang lahir dari teori pendidikan interaksional.[12] Sistem pendidikan Islam menuntut pengkajian kurikulum yang Islami, yang tercermin dari sifat dan karakteristiknya. Kurikulum yang seperti akan terpenuhi apabila mengacu pada dasar pemikiran yang Islami pula. Untuk memenuhi kriteria tersebut, suatu kurikulum yang Islami perlu memperhatikan hal-hal berikut:[13] Sistem dan perkembangan kurikulum tersebut harus hendaknya selaras dengan fitrah insani sehingga memiliki peluang untuk menyucikan, menjaganya dari penyimpangan dan menyelamatkan. Sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits yang artinya sebagai berikut:
“Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah. Maka kedua orang tuanyalah yang menjadikan beragama Yahudi, Nasrani atau Mahusi…………” (al-Hadits)

  1. Kurikulum hendaknya diarahkan untuk mencapai tujuan akhir pendidikan Islam, yaitu ikhlas, taat dan beribadah kepada Allah SWT.
  2. Pentahapan serta pengkhususan kurikulum hendaknya memperhatikan periodisasi perkembangan peserta didik maupun unisitasnya seperti karakteristik ke-anak-an dalam berbagai tahap perkembangannya.
  3. Dalam berbagai pelaksanaan, aktivitas, contoh dan nash-nya, hendaknya kurikulum memelihara segala kebutuhan nyata kehidupan masyarakat dengan bertopang pada jiwa dan cita ideal yang Islami. Dengan kata lain hendaknya struktur kurikulim itu memperhatikan setipa aspek kebudayaan, sepanjang tidak bertentangan dengan Islam, bahkan sebaliknya menunjang peningkatan umat merealisasikan syariat dan keadilan Islam.
  4. Secara keseluruhan struktur dan organisasi kurikulum tersebut hendaknya tidak bertentangan dan tidak menimbulkan pertentangan dan tetap mengarah pada pola hidup Islami. Dengan kata lain kurikulium tersebut berpeluang untuk menumbuhkan kesatuan jiwa umat.
  5. Kurikulum itu hendaknya realistic, dalam arti bahwa kurikulum tersebut dapat dilaksanakan sesuai dengan situasi dan kondisi serta batas kemungkinan yang terdapat di Negara yang akan melaksanakannya.
  6. Metode pendidikan/pengajaran dalam kurikulum itu hendaknya bersifat luwes, sehingga dapat disesuaikan dengan bergagai konsdisi dan situasi setempat, dengan mengingat pula factor perbedaan individual yang menyangkut bakat, minat serta kemampuan siswa untuk menangkap dan mengolah bahan pelajaran yang bersangkutan.
  7. Kurikulum itu hendaknya efektif, dalam arti menyampaikan dan menggugah perangkat nilai edukatif yang membuahkan tingkah laku yang positif dalam jiwa generasi muda.
  8. Kurikulum hendaknya memperhatikan tingkat perkembangan siswa yang bersangkutan. Dengan kata lain kurikulum hendaknya memperhatikan perkembangan bahasa, kematangan social, tahap kesiapan serta religiusitas siswa.
  9. Kurikulum hendaknya memperhatikan aspek-aspek tingkah laku amaliah Islami, seperti pendidikan untuk berjihad dan menyebarkan da’wah Islamiyah serta membangaun masyarakat muslim di lingkungan sekolah.
2. Pendidikan Pada Awal Masa Islam
Proses pendidikan sebebnarnya telah berlangsung sepanjang sejarah  dan berkembang sejalan dengan perkembangan sosial budaya masyarakat dipermukaan bumi. Dengan turunnya wahyu kepada Nabi Muhammad, beliau diberi tugas oleh Allah SWT untuk memberi peringatan dan pengajaran kepada umatnya untuk mendidik dan mengajarkan agama Islam.
Setelah agak banyak orang yang memeluk agama Islam, lalu Nabi menyediakan rumah Al-Arqam bin Abil Arqam untuk tempat pertemuan dengan sahabat dan para pengikutnya. Rumah Al-Arqam itulah tempat pendidikan Islam yang pertama dalam sejarah pendidikan Islam. Di sanalah Nabi megajarkan dasar-dasar/pokok-pokok agama Islam kepada sahabat-sahabatnya dan di sana pulalah Nabi membacakan ayat-ayat Al-Qur’an  kepada pengikut-pengikutnya.
Pada masa khulafaur-Rasyidin dan masa Bani Umaiyah sebenarnya telah ada tingkat pengajaran hampir sama seperti sekarang ini. Tingkat pertama ialah kuttab, sebagai tempat anak-anak belajar menulis dan membaca/menghafal al-Qur’an serta belajar pokok-pokok ajaran Islam. Setelah tamat mereka meneruskan pelajaran ke mesjid, pelejaran di mesjid itu terdiri dari tingkat menengah dan tingkat tinggi.
3. Kurikulum Pendidikan Islam Pada Masa Dinasti Abbasiyah
Kurikulum dalam pendidikan Islam pada waktu itu tentunya tidak sama dengan kurikulum modern. Menurut Ahmad Tafsir, kurikulum adalah sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh atau dipelajari oleh siswa. Lebih luas lagi kurikulum bukan hanya sekedar rencana pelajaran, tetapi semua yang secara nyata terjadi dalam proses pendidikan di sekolah.[14] Pada lembaga pendidikan saat ini, siswa dituntut untuk mempelajari sejumlah bidang studi yang ditawarkan oleh lembaga. Disamping itu, siswa juga diwajibkan mengikuti serangkaian kegiatan sekolah yang dapat memberikan pengalaman belajar.
Pada waktu itu, kurikulum yang terdapat di lembaga pendidikan Islam tidak menawarkan mata pelajaran yang bermacam-macam. Dalam suatu jangka waktu, pengajaran hanya penyajikan satu mata pelajaran yang harus ditempuh oleh siswa. Sesudah materi tersebut selesai, baru ia diperbolehkan mempelajari materi yang lain, atau yang lebih tinggi tingkatannya. Misalnya pada tahap awal siswa diharuskan belajar baca-tulis, berikutnya ia belajar berhitung dan seterusnya.
Kurikulum dalam lembaga pendidikan pada masa klasik pada mulanya berkisar pada bidang studi tertentu. Namun seiring perkembangan sosial dan kultural, materi kurikulum menjadi semakin luas. Pada masa nabi di Madinah, materi pelajaran berkisar pada belajar menulis, membaca Al-Qur’an, keimanan, ibadah, akhlak, dasar ekonomi, dasar politik dan kesatuan.[15]
Setelah wilayah Islam semakin luas, Islam harus bersentuhan dengan budaya masyarakat non-Islam yang menyebabkan permasalahan social semakin komples. Problem social tersebut pada akhirnya berpengaruh besar terhadap kehidupan keagamaan dan intelektual Islam, termasuk ilmu Hellenistik yang terjalin kontak dengan Islam. Perkembangan kehidupan intelektual dan kehidupan keagamaan dalam Islam membawa situasi lain bagi kurikulum pendidikan Islam. Maka diajarkanlah ilmu-ilmu baru seperti Tafsir, Hadits, Fiqih, Tata Bahasa, Sastra, Matematika, Teologi, Astronomi dan Kedokteran.[16]
Pada zaman kejayaan Islam, mata pelajaran bagi kurikulum sekolah tingkat rendah adalah Al-Qur’an  dan agama, membaca, menulis dan syair, juga ditambahkan nahwu, cerita dan berenang. Dalam kasus-kasus lain di khususkan untuk membaca Al-Qur’an dan mengajarkan sebagian prinsip-prinsip pokok agama. Sedangkan untuk anak-anak amir atau penguasa, kurikulum tingkat rendah agak berbeda. Di istana-istana biasanya ditegaskan pentingnya pengajaran khitabah, ilmu sejarah, cerita perang, cara-cara pergaulan, disamping ilmu-ilmu pokok seperti Al-Qur’an syair dan fiqih.[17] Jadi kurikulum pendidikan dalam Islam bersifat fungsional, tujuannya mengeluarkan dan membentuk manusia muslim, yang kenal agama dan Tuhannya, berakhlak Al-Qur’an.
Hal ini seperti yang telah dilakukan oleh Harun al-Rasyid dalam mengajukan rencana pelajaran bagi puteranya (al-Amin) dengan mengatakan sebagai berikut:
”Aku percayakan anakku, buah hatiku, kepadamu, aku berikan kepadmu kekuasaan untuk menguasainya. Buat dia agar taat kepadamu. Kupercayakan kedudukan penting ini padamu. Ajarkanlah kepadanya al-Qur;an, sejarah, syair, hadits dan pidato. Jangan beri dia kesempatan bersendagurau kecuali pada saat-saat tertentu. Didik dia agar menaruh hormat kepada pemuka-pemuka Bani Hasyim  dan memperlakukan dengan baik komando-komando militer jika mereka menghadap kepadanya. Jangan biarkan waktu  berlalu tanpa mengajaran bagi dia, tetapi jangan membuat dia bersedih. Jangan terlalu baik kepadanya karena dia akan malas. Perlakukanlah dia dengan lemah lembut, tetapi jika itu tidak mempan perlakukanlah dia dengan kekerasan.[18]
Setelah usai menempuh pendidikan tingkat rendah, siswa bebaas memilih bidang studi yang ingin di dalam pada tingkat tinggi. Jika ia ingin mendalami fiqih, ia harus belajar fiqih kepada ulama fiqih yang ia kehendakai. Jika hendak mendalami hadits, ia mesti beguru pada ulama-ulama hadits. Seperti kasus al-Bukhari, semula beliau belajar ilmu fiqih kepada Muhamad bin al-Hasan, tetapi setalah Muhammad bin al-hasan melihat bahwa ilmu hadits lebih sesuai bagi al-Bukhari, gurunya menyarankan agar al-Bukhari belajar hadits saja.[19]
Ilmu-ilmu agama mendominasi kurikulum di lembaga-lembaga pendidikan formal, seperti di mesjid dan Al-Qur’an sebagai intinya. Ilmu-ilmu agama harus dikuasai agar dapat memahami dan menjelaskan secara terinci makan Al-Qur’an yang berfungsi sebagai fokus pengajaran. Selain itu, hadits dan tafsir juga penting bagi siswa yang ingin mengusai ilmu keagamaan. Hadits merupakan mata pelajaran dalam kurikulum yang paling penting, karena kedudukannya sebagai sumber agama yang kedua setelah Al-Qur’an. Hadits banyak diminati oleh penuntut ilmu sehingga pelajar hadits tidak hanya berlangsung di mesjid-mesjid tepai juga di rumah-rumah ulama dan tempat-tempat ulum.[20]
Seperti halnya ilmu hadits, ilmu fiqih juga banyak diminati pelajar. Pelajaran fiqih adalah materi kurikulum paling populer, mereka yang ingin mencapai jabatan-jabatandalam pengadilan tentunya harus memilih untuk mendalam bidang studi ini.
Seni berdakwah (retorika) juga membentuk bagian penting dalam pengajaran ilmu-ilmu agama, karena kemapuan menyampaikan dakwah denagn meyakinkan dan pelajaran ilmiah memainkan peranan penting dalam kehidupan keagamaan dan pendidikan Islam di kalangan masyarakat muslim. Keterampilan untuk bsrbicara di depan publik termasuk  ke dalam pengalaman pendidikan yang sangat berharga dalam dunia pendidikan di masa klasik.[21]
4. Kurikulum Pendidikan Rendah/ Dasar
Pada periode Abbasiyah sekolah dasar disebut juga (kuttab) yang merupakan bagian terpadu dengan mesjid. Kurikulum utamanya disebutkan pada al-Qur’an sebagai bacaan utama para siswa, mereka juga diajari baca-tulis. Hampir dalam seluruh kurikulum yang diajarkan, metode menghafal sangat dipentingkan. Lembaga pendidikan Islam pertama untuk pengajaran yang lebih tinggi tingkatannya adalah Bait al-Hikmah (rumah kebijaksanaan) yang didirikan oleh al-Ma’mun di Bagdad. Selain berfungsi sebagai biro penerjemahan, lembaga ini juga dikenal sebagai pusat kajian akademis dan perpustakaan umum serta memiliki sebuah observatorium.[22] Mata pelajaran pokok yang terdapat pada phase rendah adalah Al-Qur’an, agama, membaca, menulis dan syair. Dalam beberapa hal kadang-kadang ditambah dengan mata pelajaran an-Nahwu, cerita-cerita dan belajar berenang. Adapula diantaranya kurikulum yang berisi pelajaran yang terbatas pada menghafal Al-Qur’an dan mengajarkan beberapa dasar-dasar pokok agama.
Tentang pentingnya mengajarkan al-Qur’an pada anak usia dini atau pada phase rendah ini, seperti yang diungkapkan oleh Ibn Sina yang mengemukakan pendapatnya tentang mendidik anak, yaitu dimulai dengan  mengjarkan Al-Qur’an, karena anak-anak telah siap dari segi fisik dan mental untuk menerima pendiktean, dan pada waktu yang sama pula diajarkan huruf hija’ dan diajarkan dasar agama,kemudian mempelajari syair dan artinya, yang dimulai dengan Buhur Rajaz kemudian diajarkan qasidah. Apabila anak-anak telah selesai menghafal Al-Qur’an dan mengetahui dasar-dasar bahasa, kemudian ia diarahkan untuk mempelajari sesuatu sesuai dengan tabiatnya dan kesanggupannya.[23]
Al-Qabishy juga menjelaskan sebuah bentuk dari pendidikan tingkat pertama (rendah) dengan memulai mempelajari Al-Qur’an, sembahyang dan sesudah itu diperbolehkan mempelajari berhitung, syair, nalar dan bahasa arab.
Ibn Khuldun mengemukakan pentingnya mengajarkan Al-Qur’an bagi anak-anak. Mengajarkan Al-Qur’an itu adalah titik permulaan dan dasar pendidikan yang terisi dalam seluruh kurikulum di seluruh negara. Mengajarkan Al-Qur’an bagi anak-anak merupakan salah satu syiar agama Islam. Menurut Ibn Khuldun sistem pengajaran yang dipakai di Maqhrib membatasi pada mempelajari Al-Qur’an, anak-anak tidak diajari hadits, fiqih natupun syair, sehingga mereka hanya mahir dalam Al-Qur’an saja. Berbeda dengan sistem pengajaran di Maqhrib, pembelajaran di Andalus dimulai dengan mempelajari Al-Qur’an karena Al-Qur’an dianggap sebagai sumber agama dan ilmu pengetahuan. Disana juga diajarkan syair, bahasa Arab dan qawaidnya, ilmu khath dan membaca …….[24]
Dari berbagai pendapat para ulama’ diatas, terlihat betapa pentingnya mengajarkan al-Qur’an bagi anak-anak pada usia dini, dan merupakan langkah awal dalam proses pembelajaran terhadap anak pada pendidikan phase rendah dan merupakan titik awal dasar pendidikan pengenalan agama Islam.
Adapun di Afrika disamping mempelajari Al-Qur’an, mereka juga mempelajari hadits, ilmu pengetahuan dan beberapa masalah yang menyangkut dengannya. Akan tetapi perhatian mereka lebih banyak ditekankan pada mempelajari Al-Qur’an dan menghafalnya, dan mempelajari riwayat dan qiraat-qiraatnya dari pada pelajaran-pelajaran yang lain. Adapun perhatian mereka terhadap ilmu khath menduduki nomor dua setelah Al-Qur’an.
Menurut Mahmud Yunus, ilmu-ilmu yang di ajarkan pada tingkat rendah (kuttab) pada mulanya adalah sangat sederhana, yaitu: a). Belajar membaca dan menulis; b). Membaca Al-Qur’an dan menghafalnya; c). Belajar pokok-pokok ajaran Islam, seperti cara berwudhu’, sembahyang puasa dan sebagainya. Pada masa khalifah Umar bin Khattab beliau instruksikan pada penduduk-penduduk kota supaya diajarkan pada anak-anak berenang, mengendarai kuda, memanah, membaca dan menghafal syair-syair dan peribahasa.[25]
Adapun rencana pengajaran (kurikulum) pada tingkat rendah secara umum adalah sebagai berikut: a). Membaca Al-Qur’an dan menghafalnya; b). Pokok-pokok agama Islam; c). Menulis; d). Kisah atau riwayat orang-orang besar Islam; e). Membaca dan menghafal syair-syair dan natsar (prosa);f). Berhitung; g). Pokok-pokok nahwu dan syorrof.[26]
Menurut keterangan al-Qabishy, bahwa mata pelajaran paka tingkat rendah terdiri dari dua macam, yaitu mata pelajaran wajib dan mata pelajaran ikhtiarah. Mata pelajaran wajib terdiri dari Al-Qur’an, sembahyang, do’a, nahwu dan bahasa Arab serta membaca dan menulis. Adapun mata pelajaran ikhtiariah terdiri dari: berhitung, ilmu nahwu dan bahasa Arab, sya’ir dan riwayat/tarikh Arab.[27]
Demikian rencana pelajaran (kurikulum) pada tingkat rendah di abad ke-4 H. Pendeknya kurikulun yang seperti itu umumnya dilakukan di sekolah-sekolah tingkat rendah di seluruh Negara Islam.
Pada masa itu pengajaran diberikan kepada murid-murid, seorang demi seorang dan belum berkelas-kelas seperti sekarang ini. Pada waktu itu, juga belum ada kitab-kitab yang ditetapkan mengajarkannya seperti sekarang, karena memang pada masa itu belum ada percetakatan modern untuk mencetak buku-buku. Pelajaran diberikan dengan dibacakan oleh guru dan diulang-ulang membacanya oleh murid, atau diditekan oleh guru dan ditulis oleh murid, atau murid tersebut disuruh menyalinn dari buku yang telah ditulis dengan tangan.
Dalam sistem yanmg biasa berlaku pada masa itu, mata pelajaran-mata pelajaran tersebut di atas, bukan diajarkan sekaligus kepada murid-murid, melainkan diajarkan satu persatu. Misalnya mula-mula diajarkan Al-Qur’an saja, setelah tamat atau hafal, baru diajarkan pokok-pokok nahwu/syaraf. Kemudian diajarkan mata pelajaran yang lain dan begitulah seterusnya.
5. Kurikulum Pendidikan Menengah
Kurikulum tingkat menengah juga tidak sama di berbagai daerah, namun secara umum kurikulum tingkat menengah itu dapat dipaparkan sebagai berikut: a). Al-Qur’an; b). Bahasa Arab dan kesusteraan; c). Fiqih; d). Tafsir; e). hadits; f). Nahwu/syaraf/balaqhah; g). Ilmu-ilmu pasti; h). Mantiq; i). Falak; j). Tarikh/sejarah; k). Ilmu-ilmu alam; l). kedokteran; m). Musik.[28]
Yaqut mengatakan rencana pelajaran pada tingkat menengah terdiri dari Al-Qur’an, tafsir, fiqih, nahwu, sastra, syair, berhitung , ilmu ukur, tarikh dan hadits. Selain itu ada lagi pelajaran menengah kejuruan. Misalnya untuk jadi juru tulis di kantor-kantor, selain dari belajar bahasa, ia harus belajar surat-menyurat, pidato, diskusi, berdebat, serta mempelajri tulisan indah.
6. Kurikulum Pendidikan Tinggi
Kurikulum untuk perguruan tinggi ada beberapa macam, sebagaimana pada tingkat dasar. Para mahasiswa tidak terkait dengan mempelajari sejumlah mata pelajaran tertentu. Kurikulum dalam pendidikan tinggi dibagi kedalam dua bagian pokok, yaitu: kurikulum agama ditambah dengan sastra dan kurikulum ilmu pengetahun ditambah dengan sastra.[29]
Di lembaga pendidikan tinggi teologi dan ilmu hadits dijadikan sebagai lansadan kurikulum dan metode pengajarannya lebih menekankan pada metode hafalan. Pada waktu itu, ketika catatan harian atau memoranda belum membudaya, kemmapuan menghafal dikembangkan setinggi mungkin dengan syarat sumber-sumber yang dihafal merupakan sumber-sumber yang dapat dipercaya.[30]
Al-Khuwarizmi meringkas kurikulum agama ditambah sastra dalam buku Miftahul ‘Ulum sebagai berikut: ilmu fiqih yang membicarakan tentang sembahyang, puasa, zakat, perkawinan, penjualan, pembelian dan lain-lain. Ilmu nahwu, ilmu kalam, menulis, ilmu ‘arudh dan ilmu akhbar terutama tentang sejarah Persi, sejarah Islam, sejarah Yunani dan Romawi.[31]
Kurikulum ilmu pengetahuan ditambah sastra merupakan cirri khas pashe kedua dari perkembangan pikiran dalam Islam, pada phase ini kelihatan jelas perkembangan kebebasan  berpikir dan luasnya lapangan pembahasan. Ilmu pengetahuan yang dipelajri berupa ilmu matematika, ilmu alam, filsafat, kedokteran dan musik.
Pada masa itu, penentuan kurikulum pendidikan Islam berada di tangan ulama atau kelompok orang yang berpengaruh dan diterima sebagai otoritatif dalam soal-soal agama dan hukum. Ilmu-ilmu agama mendoninasi kurikulum lembaga pendidikan tinggi dan Al-Qur’an sebagai intinya. Disiplin-disiplin lain yang perlu untuk memahami dan menjelaskan makna Al-Qur’an  tumbuh sebagai bagian inti dari pengajaran, seperti ilmu hadits dan ilmu tafsir.[32] Charles Michael S berkesimpulan bahwa sepanjang masa klasik Islam, penentuan sistem dan kurikulum pendidikan berada di tangan ulama, kelompok orang yang berpengetahuan dan diterima sebagai otoritatif dalam soal-soal agama dan hukum, bukan ditentukanoleh struktur kekuasaan yang berkuasa.
Jadi, dapat disimpulkan secara umum, sistem pengelolaan pendidikan klasik tampaknya lebih ditentukan oleh kekuataan ulama (orang yang memiliki komitmen intelektual) dari pada kekuatan negara (orang yang memiliki kekuasaan). Baik pada masa Nabi maupun pda masa bani Abbasiyah , para tokoh agama memiliki otoritas untuk menenttukan sistem pendidikannya.
Cakupan kurikulum lembaga pendidikan tinggi Islam pada abad ke-10 dapat diketahui dari kitab Al-Fihrist (indeks) oleh Ibn al-Nadim pada tahun 988. Sumber kedua adalah karya-karya Ikhwan al-Shafa. Adapun ensiklopedi pengajaran yang dikemukana oleh Ikhwan al-Shafa adalah sebagai berikut:[33]
Disiplin-disiplim umum: tulis baca, arti kata dan gramatika, ilmu hitung, sastra: sajak dan puisi, ilmu tyentang tanda-tanda dan isyarat, ilmu sihir dan jimat, kimia, sulap, dagang dan keterampilan tangan, jual beli, komersial, pertanian dan peternakan, serta biografi dan kisah-kisah.
Ilmu-ilmu agama: ilmu Al-Qur’an, tafsir, hadits, fiqih, dzikir, zuhud, tasawuf dan syahadah.
Ilmu-ilmu filosofis: matematika, logika, ilmu angka-angka, geometri, astronomi, musik, aritmatika dan hokum-hukum geometri; ilmu-ilmu alam dan antropologi; zat, bentuk, ruang, waktu dan gerakan; kosmologi; produksi, peleburan, dan elemen-elemen; meteorology dan mineorologi; esensi alam dan manifestasinya, botani, zoology, anatopmi dan antropologi.
Menurut Mahmud Yunus umumnya dalam perguruan tinggi itu terdiri dari dua jurusan, yaitu: jurusan ilmu-ilmu agama dan bahasa Arab serta kesusasteraannya atau disebut ilmu naqliyah dan jurusan ilmu-ilmu hikmah/ filsafat atau ilmu-ilmu ‘aqliyah.[34]
Ilmu-ilmu yang diajarkan pada jurusan ilmu naqliyah sebagai berikut: tafsir Al-Qur’an, hadits, fiqih dan usul fiqh nahwu/saraf, balaghah, bahasa Arab dan kesusasteraannya. Adapun ilmu-ilmu yang diajarkan pada jurusan ilmu ‘aqliyah sebagai berikut: mantic, ilmu-ilmu alam dan kimia, musik, musik, ilmu-ilmu pasti,ilmu ukur, falak, ilahiyah (keTuhanan), ilmu hewan, ilmu tumbuh-tumbuhan dan kedokteran.


Di masa klasik, kurikulum yang terdapat di lembaga pendidikan Islam tidak menawarkan mata pelajaran yang bermacam-macam. Dalam suatu jangka waktu, pengajaran hanya penyajikan satu mata pelajaran yang harus ditempuh oleh siswa. Sesudah materi tersebut selesai, baru ia diperbolehkan mempelajari materi yang lain, atau yang lebih tinggi tingkatannya. Misalnya pada tahap awal siswa diharuskan belajar baca-tulis, berikutnya ia belajar berhitung dan seterusnya.
Kurikulum dalam lembaga pendidikan pada masa klasik pada mulanya berkisar pada bidang studi tertentu. Namun seiring perkembangan social dan kultural, materi kurikulum menjadi semakin luas. Pada masa Nabi di Madinah, materi pelajaran berkisar pada belajar menulis, membaca Al-Qur’an, keimanan, ibadah, akhlak, dasar ekonomi, dasar politik dan kesatuan.[35]
Menurut hemat penulis, kurikulum klasik itu terkesan bersifat separate-subject curriculum, dimana setiap mata pelajaran berdiri sendiri-sendiri dan terpisah-pisah dari materi dan pengetahuan yang lain, sehingga kurikulum seperti ini cenderung berpusat pada materi pelajaran tanpa memperhatikan minat dan bakat, dan keperlun peserta didik.
Kurikulum bentuk ini cenderung statis dan ketinggalan zaman, kadang-kadang buku-buku yang dijadikan pegangan penyusunannya dilakukan beberapa tahun atau bahkan puluhan tahun yang lalu dan jika tidak dilakukan revisi untuk keperluan penyesuaian akan ketinggalan zaman. Kadang-kadang ada hal yang dianggap benar pada waktu itu tidak lagi diakui kebenarannya kini, sesuatu yang dulu belum ada, sekarang telah ada atau ditemukan, dan sebagainya.
Jika bentuk kurikulum seperti ini yang digunakan, hal ini bertentangan dengan bentuk kurikulum modern yang menekankan correlated curriculum bahkan integrated curriculum, dimana Kurikulum dengan bentuk ini menyajikan berbagai materi pelajaran menjadi satu seakan-akan merupakan mata rantai yang saling terkait.setiap mata rantai darinya harus bertalian dengan yang sebelumnya atau dibangaun atas suatu rantai yang sebelumnya. Oleh sebab itu dalam setiap pengajaran terlebih dahulu harus dimulai dengan mengingat kembali pelajaran-pelajaran yang telah lalu.        
Kalau kita perhatikan lebih cermat lagi, kurikulum klasik khususnya pada halaqah-halaqah dan sekolah diorganisasi berdasarkan pengajaran yang terpisah-pisah. Setiap ilmu mempunyai halaqat dan gurunya sendiri, dan setiap kitab mempunyai spesialisasi dalam ilmu tertentu. Kemudian pelajar yang ingin mempelajari beberapa ilmu harus memasuki beberapa halaqah.
Jika kita memahami secara mendalam kitab-kitab yang dipelajari pada halaqah-halaqah itu, kita akan mengetahui bahwa ilmu apapun dari ilmu-ilmu Islam pada waktu itu mempuanyai hubungan yang erat dengan ilmu-ilmu yang lain, dan kitab-kitab Islam yang pernah dipelajari masih tetap menjadi bukti tentang hal itu.
Sebagai contoh, kitab tafsir misalnya, dalam kitab tersebut bisa dikatakan penuh dengan berbagai i’rab dalam ilmu nahwu dan i’lal dalam ilmu sharaf. Tafsir Jalalain yang penuh dengan ratusan i’rab dan i’lal dan kitab ini merupakan kitab klasik. Jadi, bisa dikatakan bahwa kurikulum pada masa klasik itu bersifat integrated curriculum.
Keterpisahan mutlak antara berbagai materi pelajaran tidaklah termasuk tabiat pendidikan Islam. Oleh sebab itu seluruh ilmu ini harus berhubungan satu sama lain. Hal ini sesuia dengan prinsip kurikulum yang diajukan oleh Abdurrahman an-Nahlawi bahwa secara keseluruhann struktur dan organisasi kurikulum itu hendaknya tidak bertentangan dan tidak menimbulkan pertentangan.[36] Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan secara multidimensional yang mempradugakan suatu interrelasi dan koordinasi di antara belbagai bidang studi serta pokok bahasan yang diberikan kepada siswa. Demikian kurikulum harus tersusun secara berkesinambungan dan saling terkait dan terintegrasi. Antara bidang studi yang satu dengan yang lainnya hendaknya jelas pertautannya, saling mengacu, serta terikat benang merahnya.
Ketika pendidikan mengacu pada bentuk separate subject curriculum, maka bentuk yang seperti ini kurang relevan untuk diterapkan masa modern ini ini, karena seperti yang dikatakan di muka maka pengetahuan yang diterima peserta didik itu akan terpisah-pisah dan terpecah-pecah sehingga mereka tidak mendapatkan pengetahuan yang utuh. Penulis melihat bahwa kurikulum klasik itu juga berbentuk integrated curriculum, yang mengaitkan antara satu materi dengan materi yang seperti pada kitab tafsir Jalalain yang mengaitkan ilmu nahwu, i’rab dan i’lal.
Menurut hemat penulis, kurikulum (rencana pelajaran) yang tawarkan pada masa klasik masih relevan untuk ajarkan pada masa saat ini, namun perlu diintegrasikan antara mata pelajaran yang satu dengan yang lain, sehingga tidak terjadi pemisahan antar mata pelajaran. Dimana ilmu-ilmu agama mendominasi kurikulum di lembaga-lembaga pendidikan pada saat itu, seperti di mesjid dan Al-Qur’an sebagai intinya. Pengajaran Al-Qur’an menjadi inti kurikulum klasik baik pada tingkat rendah maupun pendidikan tinggi. Selain itu juga diajarkan ilmu-ilmu Tafsir, Hadits, Fiqih, Tata Bahasa, Sastra, Matematika, Teologi, Astronomi, Kedokteran. Ekonomi, Politik, Ilmu Falak, Mantik, Tarikh dan Musik. Hal ini sesuai dengan kurikulum modern yang menawarkan berbagai disiplin ilmu pengetahuan.

ENDNOTE:


[1] Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam (Bandung: Rosdakarya, 1992), hlm: 53
[2] Ibid, hlm: 59
[3] Hanun Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta: Logos, 1999), hlm: 73
[4] A. Syalaby, Sejarah dan Kebudayaan Islam III (Jakarta: Pustaka Al Husna, 2003), hlm: 17
[5] Bojena Gajane Atryzewska Sebagaimana dikutip Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), hlm: 49-50
[6] Samsul Nizar (ed), Sejarah Pendidikan Islam: Menelusuri Jejak Sejarah Pendidikan Era Rasulullah Sampai Indonesia (Jakarta: Kencana Prenada Media Group), hlm: 66
[7] A. Syalabi, loc.cit, hlm: 98
[8] M. Ahmad. Pengembangan Kurikulum (Bandung: Pustaka Setia, 1998), hlm: 9
[9] S. Nasution. Pengembangan Kurikulum (Bandung: Citra Aditya, 1993), hlm: 5
[10] Ibid, hlm: 80
[11] Abdurrahman An-Nahlawi, Prinsip-Prinsip dan Metode Pendidikan Islam (Bandung: CV. Diponegoro, 1992), hlm: 271
[12] Nana Syaodih Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum: Teori dan Praktek (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1997), hlm: 30
[13] Aburrahman An-Nahlawa, op.cit, hlm: 273-277
[14] Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam (Bandung: Rosdakarya, 1992), hlm: 53
[15] Ibid, hlm: 59
[16] Hanun Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta: Logos, 1999), hlm: 73
[17] Hasan Langgulung, Asas-Asas Pendidikan Islam (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1992), cet II, hlm: 118
[18] Hanun Asrohah, op.cit. hlm: 82 lihat juga Zuhairini dkk, Sejarah Pendidikan Islam, hlm: 93
[19] Ahmad Syalaby, Sejarah Pendidikan Islam (Terj) Muchtar Jahja dan Sanusi Latief (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), hlm: 299
[20] Hanun Asrohah, loc.cit. hlm: 75
[21] Charles Michael Staton, Pendidikan Tinggi dalam Islam: Ssjarah dan Peranannya dalam Kemajuan Ilmu Pengetahuan (Jakarta: Logos, 1994), hlm: 53
[22] Philip K. Hitti, History of  The Arabs (Jakarta: Serambi, 2005), hlm: 512-515
[23] Asma Hasan Fahmi, Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), hlm: 59-60
[24] Ibid, hlm: 61-62
[25] Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta:Hidakarya Agung, 1992), hlm: 40
[26] Ibid, hlm: 49
[27] Ibid, hlm: 50
[28] Ibid, hlm: 55
[29] Asma Hasan Fahmi, Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), hlm: 75
[30] Philip K. Hitti, History of  The Arabs (Jakarta: Serambi, 2005), hlm: 518
[31] Ibid, hlm: 78
[32] Charles Michael Staton, Pendidikan Tinggi dalam Islam: Ssjarah dan Peranannya dalam Kemajuan Ilmu Pengetahuan (Jakarta: Logos, 1994), hlm: 53
[33] Ibid, hlm: 56
[34] Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta:Hidakarya Agung, 1992), hlm: 57
[35] Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam (Bandung: Rosdakarya, 1992), hlm: 59
[36] Abdurrahman An-Nahlawi, Prinsip-Prinsip dan Metode Pendidikan Islam (Bandung: CV. Diponegoro, 1992), hlm: 275

Senin, 14 Maret 2011

Islamisasi Ilmu

ISLAMISASI ILMU
Oleh: Ummamah Amief


Gagasan Islamisasi ilmu menjadi pembicaraan yang hangat sehingga kita kemudian bertanya lagi mengenai gagasan ini. Islamisasi (Islamization) secara peristilahan mungkin hampir mirip dengan kata sakralisasi (sacralization), yaitu upaya untuk menjadikan hal-hal yang profan masuk pada wilayah sakral, dari yang relatif menjadi mutlak dan absolut. Tetapi, apakah memang seperti itu, padahal ilmu itu masuk pada wilayah profan seperti halnya politik dan berbagai hal duniawi lainnya. Apakah agama layak memasukkan hal-hal yang profan ke dalam dirinya yang sakral. Pertanyaan ini yang perlu diajukan kemudian, apakah selama ini ilmu-ilmu (sains) modern atau kontemporer sudah diperlukan untuk diIslamisasikan? Ataukah hanya karena suatu bentuk apologetika lalu kita ingin mengkalaim bahwa ilmu itu adalah milik Islam?
Dalam dunia Islam, pemikiran yang menggunakan paradigma positivisme dan empirisme tidak mendapat tempat secara proporsional karena alur pemikiran selama ini masih berpusat pada pemikiran teologikal klasik. Pemikiran positivis-empiris sering dianggap berkonotasi negatif bagi kaum agamawan (Abdullah, 1995: 255). Kaum cendikiawan muslim yang berfikiran dengan pendekatan positivis selalu dicurigai sebagai agen orientalis atau bagia dari Barat yang berupaya melakukann sekulerisasi atau westrenisasi. Bagaimana mungkin kaum cendikiawan Muslim mampu membangkitkan gairah intelektual jika tidak mau menggunakan pendekatan yang positivis-empiris dan juga rasional. Walaupun kita berhak mengkritisi dua pendekatan tersebut. Bukankah dalam epistemologi Islam ada trilogi sumber penegtahuan, yaitu bayani, irfani dan burhani yang juga memasukkan pendekatan rasional dan empiris.
Apapun yang selama ini selalu kita banggakan sebagai bentuk “romantisme sejarah”, gerak laju perubahan dan perkembangan pemikiran dalam Islam belum bisa mencapai proses renaisans dan aufklarung. Salah satu penyebabnya, umat Islam belum membudayakan tradisi “kritik epistemologis” (epistemological critique) dalam menalar keilmuan secara filosofis-rasional. Kaum teolog dan fuqaha Islam klasik yang masih mendominasi pemikiran Islam dengan memenangkan atas pemikiran yang filosofis menyebabkan hilangnya gairah intelektual kritis dan konstruktif. Hal ini menyebabkan umat Islam tidak mampu membedakan mana aspek yang dianggap normatif dan mana saja yang dianggap sebagai pemikiran manusia biasa yang sebenarnya masih bersifat relatif dan perlu pengujian histories

Tradisi Kritik Epistemologi
Tradisi kritik epistemologi adalah model yang pada gilirannya telah membuka landscape pemikiran baru dalam perkembangan pemikiran yang bercorak empiris dan historis dalam hubungannya dengan realitas masyarakat. Upaya ini lebih mendamaikan polarisasi antara sains modern yang didominasi dan dikuasai Barat dengan wacana keIslaman yang masih berada pada titik inferioritas peradaban global. Kritik epistemologi, adalah  berangkat dari proses “obyektivikasi Islam” yang pernah digagas oleh Pak Kuntowijoyo. Upaya obyektivikasi Islam  merupakan proses dinamisasi agama yang diarahkan menuju pada ilmu yang kemudian terjadi dialektika antara agama dengan sains modern. Sebenarnya, langkah dan strategi Islamisasi ilmu lebih mengarah pada dehegemoni pengetahuan Barat. Dalam wilayah ilmu-ilmu sosial, hal demikian sangat memungkinkan karena sesungguhnya ilmu-ilmu Barat yang selama ini sudah mapan adalah upaya Barat sendiri untuk “menguasai” pengetahuan yang lain. Dengan klaim universalitas dan obyektivitas Barat ingin “meniadakan” ruang-ruang bagi kemungkinan kebenaran ilmu dari yang di luar Barat. Ada campuran kepentingan antara penmgetahuan, ideologi, dan kekuasaan yang merupakan bagian kolonialisme Barat.
Pada dasarnya epistemologi adalah cara untuk mendapatkan yang benar. Nilai kebenaran akan lebih baik dan lebih tepat apabila dilandasi dengan upaya pemahaman kritis. Krititisme adalah sebuah pendekatan kritik epistemologis yang merupakan pemikiran dari Immanuel Kant (1724-1804 M). Kant menganggap aufklarung adalah sebagai “jalan keluar” untuk membebaskan manusia yang masih menggantungkan diri pada otoritas di luar dirinya. Kant menyatakan bahwa harus ada upaya untuk menentukan batas-batas kemampuan dan syarat kemampuan rasio agar kita bisa menentukan  apa yang mungkin kita ketahui, kita kerjakan, dan kita gantungi harapan. Inilah kritisme yang dimaksud Kant (Rabinow dalam Amin Abdullah, 2003:366). Pemahaman Islam layak untuk dikritisi agar maknanya bisa didekati secara rasional menurut kebutuhan masa kini.
Menurut tahapannya jenis pengetahuan itu ada tiga macam, yaitu : ontologi (apa), epistemologi (bagaimana), dan aksiologi (untuk apa). Keterkaitan itu akan saling memberikan makna. Ontologi akan menentukan epistemologi; epistemologi juga menentukan aksiologi. Epistemologi adalah proses utamanya (Suriasumantri, 2005:105). Epistemologi kemudian terbagi menjadi tiga, yaitu : empiris, rasional, dan intuitif. Pendekatan empiris menekankan pada pencapaian ilmu melalui data dan fakta yang ada dalam wilayah empirik. Sedangkan pendekatan rasional mengambil ilmu melalui akal budi dan rasio manusia bahwa sesuatu itu bisa dinalar dan dipahami. Sedang intuitif lebih melihat pada kemampuan “rasa” diri manusia atau melalui wahyu dan intuisi di luar dirinya. Dalam Islam, epistemologi seperti ini dirangkum oleh para cendekiawan muslim, yang kemudian dikembangkan oleh M. Abed Al-Jabiry, menjadi: Bayani, ‘Irfani, dan Burhani. Bayani (deskriptif) itu mirip dengan empirik, ‘Irfani itu mirip dengan intuitif, dan Burhani itu bisa disamakan dengan rasional.
kaitannya  dengan  gagasan Islamisasi ilmu
Upaya Islamisasi ilmu bagi kalangan muslim yang telah lama tertingga jauh dalam peradapan dunia modern, memiliki dilemma tersendiri. Apakah kita akan membungkus sains Barat dengan label “Islami” atau “Islam”? ataukah kita berusaha keras mentransformasikan normativitas agama, melalui rujukan utama al-Qur’an dan Hadits kedalam realitas kesejarahan secara empirik. Keduanya sama-sama sulit jika tidak dilandasi dengan dasar kritik epistemologi.

Memahami Sains dan Agama
Dalam kenyataan sehari-hari perkataan sains dan agama, seringkali menimbulkan pemahaman yang distorsif. Tidak jarang orang memahami sains sebagi ilmu pengetahuan yang bersifat empiris, positif, terukur dan dapat diuji atau dieksprimentasikan. Sebaliknya, agama dipandang sebagai sesuatu yang mewakili hal-hal yang supra ilmiah, sesuatu yang melampaui fisik, empiris dan meta positif. Tidak salah jika agama seringkali dianggap sebagai sesuatu yang mengusai ruang pembahasan yang bersifat metafisik, metaempiris dan metapositif.
Dalam beberapa literature ada banyak difenisi tentang agama seperti menurut antropolog B. Taylor, ia mengatakan bahwa agama adalah kepercayaan kepada hal-hal yang ghaib (religion is the belief in spiritual being) (Peter Conolly, 2002:12). Menurut Emile Durkheim agama dipahami sebagai suatu keseluruhan yang bagian-bagiannya saling berkaitan yang satu dengan yang lainnya, terdiri dari kepercayaan dan penyembahan, yang semuanya dihubungkan dengan hal-hal yang suci dan mengikat pengikutnya dalam suatu masyarakat (Peter Conolly, 2002:13). Sedangkan Poerwadarminta menjelaskan bahwa agama adalah segenap kepercayaan (kepada Tuhan, dewa dan sebagainya) serta dengan kebaktian dan kewajiban-kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan itu.
Dalam paparan ini kita telah memberikan penjelasan tentang makna agama. Namun, hal yang tidak boleh dilupakan bahwa yang dimaksud agama dalam konteks ini adalah agama sebagai peradapan dan pengetahuan (Religion as a Civilization and Knowledge). Agama sebagai peradapan tidak dapat dinafikan berkaitan dengan problem pengetahuan. Kata agama yang disandingkan dengan kata sains dalam konteks ini mempunyai maksud sebagai ilmu agama dan ilmu pengetahun non-agama yang bisa diklaim sains dewasa ini.

Integrasi Sains dan Agama
Secara etimologi, kata integrasi berasal dari kata integrate (verb), integration (noun) yang diartikan sebagai combine (parts) into in whole; join with other group or race. Kata combine sendiri secara etimologi dipahami sebagai join together dan group of persons, companies ec joined for purpos (Cowei dalam Rosyidi dan In’am Esha, 2006:64). Dengan demikian, integrasi dapat dipahami sebagai usaha menggabungkan bagian-bagian yang terpisah menjadi satu kesatuan.
Integrasi berkaitan dengan keilmuan, barangkali dapat dilihat dari apa yang dikatakan oleh Andrew Jamison. Jamison dalam tulisannya “Globalization and the Revival of Tradition Knowledge”, ia menjelaskan bahwa dalam konteks kekinian seiring dengan perkembangan teknologi dan informasi di era globalisasi perlu dikembangkan sebuah paradigma keilmuan yang menggunakan pendekatan integratif.
Pertanyaannya sekarang mengapa perlu integrasi? Jawaban sederhana atas pertanyaan ini karena adanya diintegrasi keilmuan. Dengan kata lain, selama ini kita dihadapkan pada kenyataan adanya dikotomi keilmuan. Keilmuan agama dan keilmuan non-agama  atau dewasa ini sering disebut sains dan agama.
Sebagaimana dijelaskan oleh Kartanegara (2005:1), sebenarnya hal ini bukanlah hal baru dalam tradisi Islam. Dalam dunia Islam dikotomi ini sebenarnya bukan hal yang baru, karena Islam telah mempunyai tradisi dikotomi lebih dari seribu tahun lalu. Namun, hal ini tidak menimbulkan masalah yang berarti, hingga sekularisme Barat diperkenalkan dalam dunia Islam.
Secara konseptual sebenarnya bagi umat muslim, ilmu pemgetahuan dan teknolgi bukan merupakan hal yang baru. Ia merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kemajuan dan pandangan dinia Muslim (world-view). Oleh sebab itu tidaklah mengherankan jika ilmu memiliki arti yang sedemikian penting bagi kaum muslimin pada masa awalnya (Zainuddin, 2004:7).
Dengan demikian secara historis dapat dikatann bahwa sains dan teknologi adalah warisan intelektual umat Islam yang tidak terpisahkan. Oleh sebab itu, umat Islam harus menemukan kembali warisan yang berharga itu. Umta Islam mesti ingat sabda Nabi “bahwa ilmu pengetahuan (hikmah) adalah perbendaharaan orang mukmin yang telah hilang. Barang siapa menemukannya, maka ia berhak atasnya”.

Dasar Pemikiran Integrasi Sains dan Agama
Persinggungan antara agama dan sains telah menunculkan perdebatan yang hangat dalam diskursus keilmuan kontemporer. Hal ini disebabkan karena kajian-kajian keagamana seringkali membawa “perseteruan” terhadap kajian-kajian sains. Agama sering diartikan sebagai bentuk kepedulian tertinggi (ultimate concern) atau sebagai cita rasa terhadap hal-hal yang bersinggungan dengan misteri karena persinggungan manusia dengan agama selalu manimbulkan gejolak-gejolak bathiniah yang mampu memberiakn kepuasan yang tak terkira.
Begitu juga sains dengan keberhasilannya yang gemilang dalam berbagai aspek kehidupan umat manusia. Terutama sejak renaissance, keberhasilannya telah menimbulkan gagasan yang mendua: antara harapan baru dan kehawatiran baru. Memunculkan harapan baru karena sains yang spektakuler akan mempercepat dan mempermudah manusia dalam memenuhi kebutuhannya. Dengan kemajuan sains, manusia merasa tercukupi semua kebutuhan biologis-jasmaniahnya.  Bahkan bisa jadi agama dianggap sebagai candu yang merantai manusia, seperti yang dikemukakan Karl Marx. Hal inilah yang merupakan kekhawatiran baru itu.
Menurut Rosyidi dan In’am Esha (2006:68) ada beberapa hal yang memicu timbulnya dikotomi keilmuan, yaitu:
Pertama, kesenjangan tentang sumber ilmu. Para pendukung ilmu-ilmu agama hanya menganggap valid sumber-sumber Ilahi dalam bentuk kitab suci dan trasdisi kenabian dan menolak sumber-sumber non-skriptual sebagai sumber otoritatif untuk menjelaskan kebenaran yang sejati. Di pihak lain, ilmuwan-ilmuwan sekuler hanya menganggap valid informasi yang diperoleh melalui pengamatan inderawi. Karena mereka, satu-satunya sumber ilmu adalah pengamatan empiris melalui pesepsi inderawi seperti dalam pandangan positivisme.
Kedua, selain problem di atas, dikotomi keilmuan timbul berkenaan denagn obyek-obyek ilmu yang dianggp “sah” untuk sebuah disiplin ilmu. Sains modern telah menentukan bahwa obyek-obyek ilmu yang sah adalah “segala sesuatu sejauh ia dapat diobservasi atau dapat diamati oleh indra. Sedangkan para pendukung ilmu agama justru menganggap bahwa obyek-obyek non fisik, seperti Tuhan, malaikat ataupun jiwa sebagai obyek mulia yang pembahasan tentangnya dapat menguatkan dan meningkatkan status ilmiah bidang yang mempelajari obyek tersebut.
Ketiga, tataran metodologi ilmiah juga menyebabkan timbulnya dikotomi tersebut. Sains modern pada dasarnya mengenal satu metode ilmiah yang disebut metode observasi atau eksprimen. Dipihak lain, kaum agamis tradisional telah mengembangkan metode-metode yang menjauhkan umatnya dari penggunaan pengamatan indera dan juga penalaran akal dalam ilmu-ilmu agama. Materi-materi keagamaan dipahami secara turun temurun sebagai dogma yanmg mati, dengan menyingkirkan segala macam interpretasi baru yang dianggapnya sebagai did’ah, bukan berdasrkan argument rasional dan ilmiah.

Tipologi Pemikiran Integrasi Sains dan Agama
Ian G. Barbour dalam bukunya Menemukan Tuhan dalam Sains Kontemporer dan Agama mengatakan bahwa hubungan sains dan agama selama ini mengkonstruk dalam empat gubungan, yaitu: konflik, independensi, dialog dan integrasi (Barbour, 2005:12).
Dalam hubungan konflik, sains dan agama saling menegaskan kebenaran yang lain (kontradiktif). Contoh nyata dalam hal ini adalah terjadinya penghukuman terhadap Galileo Galilei yang diberikan Gereja Katolik pada abad ke-17. Namun, tidak semua ilmuwan berpandangan dengan sikap permusuhan seperti itu. Sebagian besar justru menganut pandangan independensi bahwa sains dan agama mempunyai kebenaran sendiri-sendiri yang terpisah satu sama lain, sehingga bisa hidup berdampingan satu sama lain. Agama dianggap sebagi nilai-nilai, sedangkan sains berhubungan dengan fakta.
Dalam hubungan dialogis, sains dan agama mempunyai persinggungan yang bisa didialogkan satu sama lain. Pendapat ini tercermin dari perkataan fisikawan beasr Albert Einstein, “Religion without science is blind, science without religion is lame”.
Dalam hubungan integratif, baik sain maupun agama menyadari akan adanya suatu wawasan yang lebih besar mencakup keduanya sehingga bisa bekerja sama secara aktif. Bahkan, sains bisa meningkatkan kenyakinan umat beragama dengan memberi bukti ilmiah atas wahyu atau pengalaman mistis. Pandangan integrative yang lebih fundamental atas pandangan pluralisme epistemologi postmodern baik sain maupun agama dapat bekerja sama karena keduanya merupakan interpretasi intersubyektif yang berbeda-beda pada pengalaman manusia, seperti halnya seni, sastra, maupun filsafat yang setarata satu sama lainnya (Barbour, 2005:12).
Berbicara tentang ide Islamisasi ilmu, dari sebagian banyak cendikiawan muslim yang pernah memperdebatkan tentang  Islamisasi ilmu, dia antaranya bisa disebut adalah : Ismail Raji Al-Faruqi, Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Fazlur Rahman, dan Ziauddin Sardar. Kemunculan ide Islamisasi ilmu tidak lepas dari ketimpangan-ketimpangan yang merupakan akibat langsung keterpisahan antara sains dan agama. Sekularisme telah membuat sains sangat jauh dari kemungkinan untuk didekati melalui kajian agama. Pemikiran kalangan yang mengusung ide Islamisasi ilmu masih terkesan sporadis, dan belum terpadu menjadi sebuah pemikiran yang utuh.
Akan tetapi, sejak abad 15 H tema ini telah menjadi tema sentral di kalangan cendikiawan Muslim. Ada tiga tanggapan ilmuwan muslim terhadap sains modern yang kemudian masing-masing pendapat ini akan menentukan bagaimana pandangan mereka pula terhadap ide Islamisasi ilmu. Ziauddin Sardar mecatat ada tiga kelompok yang memandang sains modern kini. Pertama, kelompok muslim apologetik : kelompok ini menganggap sains modern bersifat netral dan universal. Mereka berusaha melegitimasi hasil-hasil penemuan sains dengan mencari padanan ayat-ayatnya yang sesuai dengan teori dalam sains tersebut. Karena hanya sebagai bentuk apologia saja maka pandangan kelompok ini hanya sebagai penyembuh luka bagi umat Islam secara psikologis, bahwa umat Islam tidak ketinggalan zaman. Kedua, kelompok yang mengakui sains Barat, tetapi berusaha mempelajari sejarah dan filsafat ilmuan agar dapat menyaring elemen-elemen yang “tidak Islami”. Dan yang ketiga, kelompok yang percaya dengan adanya sains Islam dan berusaha membangun Islamisasi di seluruh elemen sains.
Kelompok pertama diwakili oleh Fazlur Rahman. Pemikir neo-modernis ini pernah tidak setuju dengan gagasan Islamisasi ilmu. Baginya, yang perlu dilakukan adalah “menciptakan dan menghasilkan para pemikir yang memiliki kapasitas berfikir konstruktif dan positif”. Kelompok kedua diwakili oleh Naquib Al-Attas. Pada konfrensi dunia tentang pendidiakn muslim di Mekkah pada tahun 1977 Al-Attas mengemukakan gagasan tentang perlunya upaya Islamisasi ilmu (Shafie, 2005:69). Menurutnya, desekularisasi ilmu yang dilandasi dengan epistemologi Islam, adalah strategi untuk melakukan upaya Islamisasi ilmu. Desekularisasi berarti kita perlu membersihkan unsur-unsur yang menyimpang sehingga ilmu pengetahuan yang ada bisa benar-benar “Islami” (Shafie, 2005:70). Dan kelompok ketiga diwakili oleh Ismail Raji Al-Faruqi, dengan gagasan primernya “Islamization of Knowledge”. Menurutnya, pengetahuan-pengetahuan modern telah menyebabkan adanya pertentangan antara wahyu dan akal dalam diri umat Islam, yang memisahkan pemikiran dari aksi, serta adanya dualisme kultural dan religius (Shafie, 2005:73). Bagi Faruqi Islamisasi ilmu harus beranjak dari tauhid, dan selalu menekankan adanya kesatuan pengetahuan, yaitu disiplin untuk mencari obyektif yang rasional dan pengetahuan yang kritis mengenai kebenaran; kesatuan hidup, segala disiplin harus menyadari dan mengabdi kepada tujuan penciptaan; dan kesatuan sejarah, segala disiplin akan menerima yang ummatis atau kemasyarakatan dari seluruh aktivitas manusia, dan mengabdi pada tujuan-tujuan ummah di dalam sejarah.
Menurut Al-Faruqi, jalur-jalur mekanisme Islamisasi sains adalah : (1) penguasaan disiplin ilmu modern; (2) survai disiplin ilmu pengetahuan; (3) penguasaan khasanah Islam, sebuah ontologis; (4) penguasaan khasanah ilmiah Islami, tahap analisis; (5) penemuan relevansi Islam yang khas terhadap disiplin-disiplin ilmu pengetahuan; (6) penilaian kritis terhadap disiplin ilmu modern; (7) penilaian kritis terhadap khasanah Islam; (8) Survai permasalahan yang dihadapi umat manusia; (10) analisis kritis dan sintesis; (11) penuangan kembali disiplin ilmu modern ke dalam kerangka Islam, dan (12) penyebaran ilmu-ilmu yang telah diIslamisasikan. Jika dicermati secara mendalam, sebenarnya Al-Faruqi juga mencoba bersikap moderat terhadap ilmu-ilmu modern. Hanya saja, dia terkesan apologetik dengan berangkat dari universalisme Islam (tauhid) yang dimaknai secara literal dan terkesan agak memaksa lewat internalisasi nilai-nilai Islam.
Al-Faruqi tidak secara pasti mengatakan bahwa titik pijaknya adalah epistemologi Islam. Ia agak berbeda dengan Sardar dan Naquib Al-Attas, yang memandang perlunya untuk membangun konsep epistemologi Islam sebagai pandangan dunia (world view) Islam. Sardar (dalam Ali Noer Zaman, 2003:44-45) memandang bahwa ciri utama epistemologi Islam adalah: (1) didasarkan atas suatu pedoman mutlak; (2) epistemologi Islam bersifat aktif dan bukan pasif; (3) memandang objektivitas sebagai masalah umum; (4) sebagian besar bersifat deduktif; (5) memaduka pengetahuan dengan nilai-nilai Islam; (6) memandang pengetahuan bersifat inklusif; (7) menyusun pengalaman subyektif; (8) perpaduan konsep tingkat kesadaran dengan tingkat pengalaman subyektif; (9) tidak bertentangan dengan pandangan holistik. Dengan demikian epistemologi sesuai dengan pandangan yang lebih menyatu dari perkembangan pribadi dan pertumbuhan intelektual.
Agenda Islamisasi ilmu jangan sampai berangkat dari asumsi-asumsi ideologis bahwa Islam meliputi segalanya (universalisme semu), sehingga semuanya harus mengikuti apa yang terkandung dalam ajaran-ajaran Islam. Persoalannya, makna yang terkandung dalam Islam tidak lantas kita anggap final dan absolut. Sisi historisitas agama harus dieksplor lebih dalam lagi agar bisa didialogkan dengan realitas kekinian. Tradisi kritik epistemologis akan membuka ruang kritisisme terhadap pengetahuan yang sudah mapan, termasuk pula pemahaman mengenai agama. Menarik sekali jika kita baca bukunya Ali Harb Kritik Nalar Al-Qur’an (2003), yang menyatakan bahwa pengetahuan yang menghasilkan kebenaran tidak bisa bebas dari kritik. Kritik atas kritik kebenaran terus berlangsung karena memang tidak ada kebenaran yang absolute, termasuk kebenaran mengenai pengetahuan manusia.
Langkah yang sangat strategis adalah dengan membuat konsep yang utuh mengenai epistemologi Islamisasi ilmu, dan itu bisa dibuka melalui wacana kritik epistemologis. Pengetahuan Barat yang selama ini masih mendominasi harus selayaknya “dibongkar” agar bisa setara dengan pengetahuan di luarnya. Di tengah memudarnya pesona modernitas dan hancurnya sendi-sendi moralitas, gerakan Islamisasi ilmu bisa menjadi salah satu alternatif bagi upaya “penyembuhan” bagi kelemahan pengetahuan dunia selama ini.

Penutup
Kalau kita mencermati apa yang terungkap dari islamisasi ilmu ini, maka setidaknya ada beberapa hal yang patut kita catat. Pertama, bahwa makna integrasi secara harfiah dipahami sebagi penyatuan dua hal atau lebih yang saling terpisah. Integrasi juga dipahami sebagai bersatunya beberapa hal yang berbeda menjadi satu kesatuan yang utuh.
Sedangkan integrasi sains dan agama dipahami sebagai upaya memadukan antara ilmu-ilmu umum dan ilmu-ilmu agama. Dalam persepektif yang lain, mereka memahami imtegrasi sains dan agama sebagai upaya mencari dari sumber-sumber al-Qur’an dengan tanpa menghilangkan teori yang ada. Integrasi sains dan agama juga dipahami sebagai segala modus untuk menjadikan agama sebagai inspirasi pengembangan sains, dan sebaliknya juga menjadikan sains sebagai penjelasan untuk memahami informasi yang terdapat dalam agama.
Dengan demikian, integrasi sains dan agama dipahami sebagai upaya untuk mendialogkan antara sains dan agama baik dalam rangka untuk mempertegas teori keilmuan yang sudah ada dengan dalil-dalil dalam al-Qur’an, maupun sebaliknya menjadikan sains sebagi penjelas terhadap al-Qur’an. Hal ini menunjukkan bahwa integrasi sains dan agama dipahami sebagai langkah strategis untuk mempertemukan hasanah dua keilmuan dalam satu sinergi.
Integrasi ilmu dan agama, merupakan sebuah upaya strategis untuk memposisikan kembali keberadaan sains dan agama dalam kedudukan yang seimbang. Munculnya gagasan integrasi tidak lain karena realitas kontemporer yang ada. Modernisme dengan paradigma positivisme telah meletakkan ilmu-ilmu positif lebih dominant dan agama diletakkan pada jenjang terendah dalam struktur ilmu. Hal itulah yang pada kenyataannya menimbulkan problem krusial bagi manusia.

 DAFTAR RUJUKAN

Abdullah. 1995. Kontribusi Islam atas Dunia Barat (Pent). Surabaya: Risalah Gusti
Abdullah, Amin. 2003. Etika Tauhidik Sebagai Dasar Kesatuan Epistemologi Keilmuan Umum dan Agama. Yogyakarta: Suka Press
Barbour G, Ian. 2005. Menemukan Tuhan dalam Sains Kontemporer dan Agama. Bandung: Mizan
Conolly, Peter (Ed). 2002. Aneka Pendekatan Studi Agama. Yogyakarta:LkiS
Kartanegara, Mulyadi. 2005. Integrasi Ilmu: Sebuah Rekonstruksi Holistik. Jakarta: Arasy Mizan dan UIN Jakarta Press
Rosyidi, Abd. Wahab Dan M. In’am Esha. Integrasi Sains dan Agama. Jurnal Ulul Albab, Vol 7, No. 1, Tahun 2006. Malang: UIN Malang
Shafie, Bazli Ahmad. Konsep Islamisasi Ilmu Al-Attas Dan Al-Faruqi: Evaluasi Terhadap Sebuah Analisa Perbandingan. Majalah Islamia, Vol. Ii, No. 3. Tahun 2005
Suriasumantri S, Jujun. 2005. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Sinar Harapan. Cet XVIII
Zainuddin, M. et.all. 2004. Memadu Agama dan Sains. Malang: Bayu Media
Zaman, Noer Ali. (Pent). 2003. Persoalan-Persoalan Filsafat Agama: Kajian Pemikiran 9 Tokoh dalam Sejarah Filsafat dan Teologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar